Accesstia Christy: Mewujudkan Harapan Kedaulatan Pangan

Accesstia Christy, mahasiswi Fakultas Pertanian UNS, pegiat gerakan pangan lokal Indonesia

 

Ketika kejayaan pertanian Indonesia mulai meredup dan Indonesia dihujani banyak permasalahan pangan, masih ada orang-orang yang bertahan untuk menghidupkan pertanian dan mendorong budidaya pangan. Kedaulatan pangan bukanlah jadi harapan belaka. Dan itulah yang Accesstia Christy kini usahakan: menggerakkan mahasiswa muda untuk peduli pangan lokal Indonesia.

Dipayungi organisasi International Association of Students in Agricultural and Related Sciences (IAAS) Fakultas Pertanian (FP) Universitas Sebelas Maret (UNS), Christy telah mempersiapkan berbagai program dalam mewujudkan Indonesia yang berkedaulatan pangan. Diantaranya adalah memiliki desa binaan IAAS dan gerakan pangan lokal Indonesia. Sebelumnya, telah ada program desa binaan serupa di Selo dengan bekerja sama dengan dosen FP UNS, namun karena ada beberapa kendala program itu dengan terpaksa dihentikan.

“Kalau tahun lalu kami punya desa binaan di Selo. Saat itu, mereka habis terkena bencana merapi dan terkena masalah tanaman kaki gajah. Jadi, kami bekerja sama dengan sahabat merah putih mengedukasi warga untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun, tahun kemarin ada kendala, jadi kami hentikan dan saat ini kami sedang mencari desa binaan baru,” ungkap gadis berkacamata itu.

Sementara itu, untuk program gerakan pangan lokal Indonesia, ia mengkampanyekannnya lewat akun twitter @panganlokal_ID. Hal ini dilakukan dengan cara mengajak tweeps (sebutan para pengguna twitter) untuk nge-twit foto makanan lokal yang sedang ditemui atau dinikmatinya. Ia mengakui gerakan ini tidak dalam skala yang masif, karena keterbatasan yang dimiliki olehnya dan kawan-kawannya. Namun, ia berharap, dengan adanya gerakan ini masyarakat Indonesia menyadari kekayaan pangan yang dimiliki Indonesia.

Gerakan ini, lanjutnya, dilatarbelakangi oleh besarnya serbuan bahan pangan impor di Indonesia serta tingginya ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap nasi. Padahal, produk bahan pangan Indonesia tidak kalah dengan yang berlabel impor, selain itu kaya bahan pangan lain yang juga mengandung karbohidrat, misalkan saja singkong, ubi, jagung, sagu dan sebagainya. “Dulu, waktu saya masih SD, di kelas diajari bahwa makanan pokok di Madura adalah jagung, di Papua itu sagu. Tetapi sekarang, makanan pokok Indonesia adalah nasi. Orang tidak bisa sehari tidak makan nasi. Gerakan ini adalah untuk mengkampanyekan keanekaragaman pangan lokal di Indonesia itu,” tandas Ketua baru IAAS FP UNS itu.

Kepedulian Christy terhadap pertanian dan pangan Indonesia tidak tumbuh begitu saja. Sebelumnya, ia menginginkan untuk kuliah di kedokteran. Tetapi, hidupnya berkata lain, ia diterima di pertanian, bukan kedokteran yang dia inginkan. Mahasiswa semester 6 itu bercerita, “Dulu saya ingin berkuliah di kedokteran, tapi rupanya saya masuk ke pertanian. Saya tidak tahu apa-apa di sini. Hanya saja, seiring dengan berjalannya waktu, saya merasa asyik di sini. Saya sekarang tertarik pada pangan, yang ternyata tidak sekedar makanan saja.”

Karirnya di IAAS membawanya berkunjung ke berbagai kota, baik nasional maupun internasional. Pada 2012, ia sempat berkunjung ke Belgia, Jerman untuk kongres tingkat dunia. Di sana, ia bersama perwakilan dari negara-negara bagian IAAS membahas masalah kepengurusan, seperti pergantian pemimpin dan pengurus, dan masalah pertanian sekarang ini.

Lalu terakhir, pada Februari 2013 lalu, ia menghadiri kongres IAAS Indonesia di Jogja. Kongres yang bertemakan Integrated Farming in Achieving Food Sovereignty itu dihadiri 8 universitas anggota dan 1 kandidat IAAS Indonesia baru. Kesembilan universitas itu adalah Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Haluoleo (Unhalu), Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Padjajaran (Unpad), Universitas Brawijaya (UB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Mataram (Unram), Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) dan UNS.

Di sana, ia dan para anggota IAAS tidak hanya berdiskusi tentang kepengurusan ataupun organisasi IAAS saja, melainkan juga memperkaya ilmu tentang pertanian, khususnya menghasilkan bahan pangan secara swadaya dalam mencapai kedaulatan pangan. Misalkan saja pembuatan bahan baku untuk makanan ternak atau sapi. Kemudian, mereka diajak berkunjung ke Kebun Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Pertanian UGM di daerah Kepurun.

Di sana, ia mendapatkan materi selama setengah jam di kelas sebelum turun langsung ke lapangan. Gadis asal Jakarta itu berutur, “Di sana kami belajar membuat burget pakan sapi, membuat pupuk cair, pupuk padat, dan biogas dari kotoran sapi. Di sana itu semua energi berasal dari biogas sapi.” Dengan adanya produksi pakan secara swadaya tersebut, diharapkan mampu meminimalisasi impor dari luar negeri.

Langkah yang dimulai oleh Christy memang tidaklah besar untuk sebuah cita-cita besar: Indonesia berkedaulatan pangan. Akan tetapi, satu langkah darinya, organisasinya, dapat mempengaruhi besarnya simpangan perubahan pertanian pangan Indonesia. Kini, di umur 5 tahun IAAS FP UNS berkarya, ia beserta 120 kawan seorganisasinya telah bersiap untuk berubah menuju Indonesia yang lebih baik.[]

Skip to content