Dialog Buya Syafii Maarif bersama Civitas Akademika UNS: Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan

Buya Syafii Maarif

Maarif Institute bekerja sama dengan Takmir Masjid Nurul Huda Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) gelar talkshow kebangsaan “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan”, Selasa (16/6/2015). Hadir sebagai pembicara utama sekaligus penulis buku dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Ahmad Syafii Maarif yang juga merupakan salah satu pendiri Maarif Institute for Culture and Humanity pada tahun 2003.

Penampilan spesial Endah Laras dalam Talkshow Kebangsaan “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan”, Selasa (16/6/2015).
Penampilan spesial Endah Laras dalam Talkshow Kebangsaan “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan”, Selasa (16/6/2015).

Talkshow yang berlangsung di Aula Fakultas Hukum UNS ini semakin semarak dengan kehadiran Garin Nugroho sebagai moderator talkshow. Garin dengan gaya santai namun tajam, membedah buku serta mengajak peserta talkshow berdialog lebih dalam mengenai Islam dan kebangsaan. “Apa bedanya politisi dengan negarawan?,” tanya Buya Syafii Maarif. Seperti menjawab pertanyaan yang ia lempar sendiri, Buya Syafii Maarif menjelaskan perbedaan seorang politisi dengan negarawan. Menurutnya, politisi hanya memikirkan pemilihan umum, jabatan, dan bagaimana mendapat jabatan. Sedang yang dipikirkan seorang negarawan adalah bagaimana sebuah bangsa mampu bertahan seribu tahun yang akan datang. Lebih lanjut Buya Syafii Maarif mengakui bangsa Indonesia masih kekurangan negarawan.
Buya Syafii Maarif juga menyelipkan harapan UNS sebagai salah satu perguruan tinggi. UNS sebagai “rahim” diharapkan mampu melahirkan negarawan-negarawan yang mampu memperbaiki bangsa dan negara ini. Di sela-sela dialog, Garin mempersilahkan Endah Laras membawakan beberapa lagu, semakin menambah hangat suasana talkshow.
Topik mengenai ilmu garam dan gula dalam buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan menjadi salah satu bahasan yang ditanyakan oleh Garin kepada Buya Syafii Maarif. “Jika orang ingin memperjuangkan ajaran Islam di Indonesia, pakailah ‘ilmu garam bukan ilmu gincu’,” jawab Buya syafii Maarif. Ketika garam larut dalam makanan, bekasnya tidak terlihat, tetapi pengaruhnya terasa dalam makanan. Sedangkan gincu yang dipakai kaum perempuan, terlihat merah di bibir, tetapi tidak ada rasanya. Istilah gincu dan garam, menurut pengakuan Buya Syaafii Maarif ia ambil dari istilah yang digunakan oleh Hatta. Istilah tersebut disampaikan oleh Hatta dalam rangka mendidik umat Islam Indonesia agar lebih arif dalam memperjuangkan cita-cita politik Islam. [](nana.red.uns.ac.id)

Skip to content