Alumnus FT UNS Bagikan Pengalaman Menjadi Arsitek di Jepang

Alumnus FT UNS Bagikan Pengalaman Menjadi Arsitek di Jepang

UNS — Alumnus Program Studi (Prodi) Arsitektur Fakultas Teknik (FT) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Naya Marsatyasti, S.T., M.Eng. membagikan pengalamannya menjadi arsitek di Jepang. Hal ini ia sampaikan dalam acara Virtual Talk Series With Japan Alumni: Serba-Serbi Menjadi Arsitek di Jepang.

Adapun penyelenggaraan acara ini bentuk kolaborasi dari Pusat Studi Jepang (PSJ) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNS, Prodi Arsitektur UNS – Laboraturium URDC UNS, Himpunan Mahasiswa Arsitektur (HMA) UNS, dan Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) Surakarta.

Naya yang membawakan materi tentang Mempersiapkan Diri Bekerja sebagai Arsitek di Jepang ini mengatakan bahwa untuk bisa menjadi arsitek di Jepang membutuhkan persiapan yang baik.

“Pertama, siapkan Curriculum Vitae (CV) sesuai format perusahaan dan portofolio karya kamu yang fokus kepada design thinking. Kedua, menguasai bahasa asing dalam hal ini bahasa Jepang minimal N3/N2 dan bahasa Inggris. Ketiga, mengenali tipe perusahaan apakah berbentuk corporate type, atelier/studio type, atau outsource company. Keempat, pastinya job hunting dan jangan lupa submit CV dan portofolio kamu ke perusahaan yang diinginkan,” ujar Naya, Sabtu (25/6/2022).

Alumnus FT UNS Bagikan Pengalaman Menjadi Arsitek di Jepang

Naya menambahkan untuk alur kerja seorang arsitek di Jepang tak beda jauh dengan yang ada di Indonesia. Dimulai dari, design drawing, structural drawing, dan Mechanical Electrical Plumbing (MEP) drawing; Examination of construction cost; Environmental impact assessment; Meeting with all parties; dan Construction drawing.

Selain itu, sertifikasi arsitek Jepang terbagi menjadi 3 yakni, wooden architect, second-class architect, dan first-class architect.

“Sebelum konstruksi, kami juga ada ritual berdoa agar konstruksi project berjalan aman dan lancar. Lebih lanjut, untuk budaya kerja sendiri dimulai dengan meeting pagi setiap hari untuk melaporkan progress project yang sedang dikerjakan juga apa yang akan dikerjakan hari ini dan apa yang sudah dikerjakan kemarin. Tidak jarang juga kami bekerja lebih dari ketentuan jam kerja. Sementara untuk rutinitas setiap harinya biasanya melakukan eksplorasi studi desain, pembuatan market studi, dan meeting dengan tim. Serta setiap project adalah hasil kerja tim, karena ada budaya membantu tim project lain. Budaya kerja ini saya ambil berdasarkan tipe perusahaan atelier atau studio arsitek di Jepang,” terang Naya.

Menurut Naya, ketika berkeinginan menjadi arsitek di Jepang, ia menekankan untuk mempersiapkan kondisi mental. Meski orang Jepang terkenal dengan keramahan dan kesopanannya, namun karena sudah berbeda negara pastinya ada perbedaan budaya yang terasa. Hal itu pun yang juga Naya rasakan. Naya pun turut menghimbau, ketika sudah bekerja sebagai arsitek di Jepang, senantiasa menjalin silahturahmi dengan orang Indonesia yang di Jepang.

“Bekerja sebagai arsitek di Jepang yang penuh dengan referensi bangunan dengan arsitektur yang digemari dan kesempatan untuk berada lebih dekat dengan arsitek-arsitek Jepang kelas dunia, memang membahagiakan. Tetapi, juga tidak lalu mudah untuk dijalani. Mental yang sehat dan bahasa Jepang yang cukup, menjadi hal yang sangat penting untuk bertahan,” tutup Naya. Humas UNS

Reporter: Lina Khoirun Nisa
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content