Audina Sholicha, Alumnus UNS yang Menjadi Bidan di Perbatasan

Audina Sholicha, Alumnus UNS yang Menjadi Bidan di Perbatasan

UNS — “Buat hidup kita bermakna. Hidup bukan tentang durasi, tetapi tentang kontribusi”. Begitulah jawaban Audina Sholicha—seorang bidan muda sekaligus Alumnus D-3 Kebidanan Universitas Sebalas Maret (UNS)—ketika ditanya perihal prinsip hidupnya.

Prinsip itu pun salah satunya ia wujudkan dengan mengabdikan diri sebagai bidan di Puskesmas Kabalsiang Benjuring, Kepulauan Aru, Maluku selama 2 tahun. Sejak sepuluh bulan lalu, Audin bertugas melalui Program Nusantara Sehat dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Tidak sendiri, ia tergabung dalam sebuah tim bersama enam orang lainnya yang memiliki bidang keahlian masing-masing. Wanita asal Sukoharjo ini menjelaskan bahwa Nusantara Sehat berfokus pada program inovasi. Salah satu fokus utama yang ia dan tim lakukan ialah inovasi pada pelayanan Puskesmas.

Audin sebagai seorang bidan memiliki beberapa tugas untuk melakukan pemeriksaan ibu hamil, pelayanan program Keluarga Bencana (KB), memeriksa tumbuh kembang bayi dan balita, serta membantu persalinan di Puskesmas.

“Kita di sini memberikan pelayanan kesehatan primer yang terintegrasi, nggak hanya fokus kuratif, tapi juga ada promotif dan preventifnya. Jadi kita juga bertugas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas pentingnya kesehatan. Minimal sadar untuk berperilaku hidup bersih dan sehat,” ujarnya, Sabtu (10/7/2021).

Pelayanan Kesehatan yang Merata

Audina Sholicha, Alumnus UNS yang Menjadi Bidan di Perbatasan

Menjadi tenaga kesehatan memang cita-cita seorang Audin. Gagal menempuh studi Kedokteran tidak menyurutkan tekadnya, hingga ia pun memilih belajar di Prodi Kebidanan. Ia ingin memberikan pelayanan kesehatan yang sama kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang bulu.

“Nggak bisa lihat hal-hal begitu (perlakuan berbeda dalam pelayanan kesehatan). Aku harus terjun langsung ke masyarakat, nggak bisa kalau koar-koar doang. Aku ingin mengabdikan diri di perbatasan Indonesia,” imbuh Audin.

Audin kemudian melihat Nusantara Sehat yang memiliki visi misi untuk menguatkan pelayanan kesehatan primer di daerah perbatasan sangat cocok dengan cita-citanya. Dan saat ini ia pun benar-benar ada di Kepulauan Aru yang cukup dekat dengan Australia.

“Ini cita-cita yang Alhamdulillah terkabul. Meski dikasih waktu 2 tahun, tapi semoga maksimal dan bisa menegakkan cita-citaku,” katanya.

Seperti yang tertulis di awal, langkah Audin juga tidak terlepas dari prinsip hidupnya yakni make our life meaningfull. Biar hidup sekali tapi bermakna, untuk siapa pun. Terlebih untuk orang-orang sekitar dan jika bisa lebih luas.

“Karena hidup bukan tentang durasi, tetapi tentang kontribusi. Mumpung Allah masih memberi nikmat sehat nih, ya ayo kita maksimalkan. Kita optimalkan sebaik-baiknya untuk bermanfaat bagi orang lain, mempermudah jalan dan urusan orang lain,” tutur Audin.

Siap Mental, Siap 24 Jam

Berbicara perihal tantangan, secara umum Audin mengatakan sebagai tenakes sudah pasti harus siap 24 jam dengan keadaan apa pun. Apalagi sebagai bidan yang harus membantu para ibu melahirkan yang mana tidak dapat ditentukan jam kelahirannya. Selain itu, bidan harus siap mental karena menyelamatkan dua nyawa sekaligus, yaitu ibu dan bayi.

Audin juga menceritakan tantangan yang lebih khusus dihadapi selama di Aru. Tantangan pertama dan menjadi tantangan terbesar ialah bagaimana mengedukasi masyarakat dengan berbagai keyakinan dan tradisinya untuk persalinan di Puskesmas.

Masyarakat setempat lebih suka melahirkan dengan bantuan dukun bayi. Mereka merasa aman dan selamat melahirkan bersama dukun bayi, sehingga tidak perlu pergi ke Puskesmas. “Terlebih masyarakat meyakini bahwa ibu bersalin dari pertama sampai 40 hari tidak boleh menginjak tanah sama sekali. Jadi ketika lahiran di Puskesmas ya menyalahi budaya mereka,” ujarnya.

Di sisi lain, bahasa yang digunakan juga berbeda. Audin dan kawan-kawan pun harus mendekati secara kultural, seperti menggunakan bahasa setempat. Tidak ketinggalan, koordinasi dilakukan dengan tokoh-tokoh adat dan tokoh-tokoh agama.

“Contoh ada ibu bersalin, (tradisinya) sampai rumah harus ada perapian di kamar. Padahal itu tidak baik untuk pernapasan bayi, bisa ISPA. Kita tidak bisa langsung bilang tidak boleh. Kita dekati tokoh adat, biarkan tokoh adat yang bilang ke warganya, kita dampingi,” tutur Audin.

Kedua, Puskesmas Kabalsiang memiliki status sangat terpencil dan berada di pulau yang terdiri dari dua desa dengan laut di sekelilingnya. Jika ingin keluar desa harus memakai perahu atau kapal motor. Bahkan, untuk menuju kota diperlukan waktu minimal 10 jam. Kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri ketika para nakes akan merujuk pasien ke kota.

Audina Sholicha, Alumnus UNS yang Menjadi Bidan di Perbatasan

Ketiga, pelayanan Puskesmas Kabalsiang ini diperuntukkan bagi masyarakat 5 daerah yang mana tiga di antaranya berada di luar pulau lokasi Puskesmas. Dengan demikian, mereka harus siap melayani pasien dari luar pulau.

“Belum lagi kalau kita mempertimbangkan dari cuaca laut. Ada gelombang tuh nggak ada yang berani ke kota. Lalu kalau menangani pasien ke luar pulau, lima jam nunggu infus, tapi kadang nggak bisa langsung pulang karena airnya surut. Kadang harus menginap karena nunggu airnya naik,” ungkap Audin.

Keempat, keterbatasan listrik yang mengandalkan panel surya, sehingga jam 6 atau 8 malam baru ada listrik. Air pun juga terbatas karena menggunakan air hujan. Kelima, peralatan yang tidak layak dan lengkap. Namun, keterbatasan ini justru menjadi pemacu untuk meningkatkan kreativitas.

“Kita tidak boleh menyerah. (Jangan berpikir) kalau nggak ada alat ini berarti tidak bisa ini dong. Tidak, kita jadi kreatif. Satu alat ternyata bisa buat beberapa hal,” tambahnya.

Di akhir perbincangan, Audin menyematkan harapan dan memberikan semangat bagi para nakes, khususnya para bidan (sebagaimana profesinya) untuk tetap semangat dan tangguh menyelamatkan ibu dan bayi meski di tengah pandemi.

“Jangan lupa kunci bidan itu ada tiga. Head, hand, and heart. Jangan lupa mengasihi ibu dan bayi dengan hati dan cinta. Kebahagiaan terbesar adalah menjadi ibu, kebahagiaan terbesar kedua adalah menjadi bidan. Semangat untuk para bidan-bidan tangguh!” pungkasnya. Humas UNS

Reporter: Kaffa Hidayati
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content