Search
Close this search box.

Wedangan IKA UNS Bahas Tosan Aji Dalam Budaya Kearifan Lokal

UNSIkatan Keluarga Alumni (IKA) bersama dengan Pusat Unggulan Iptek (PUI) Javanologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menggelar Wedangan dengan mengangkat  tema ‘Tosan Aji Dalam Budaya Kearifan Lokal’. Wedangan ini digelar secara daring pada Rabu (9/2/2022) malam.

Wedangan kali ini menghadirkan 3 narasumber yang memiliki latar belakang pengetahuan dunia keris. Diantaranya Ketua PUI Javanologi UNS, Prof. Sahid Teguh Widodo, M.Hum., Ph.D., Empu Basuki Teguh Yuwono, M.Sn. dari Padepokan Keris Brojobuwono, dan seorang Budayawan, KRT Gaura Mancacaritadipura.

Dalam sambutannya, Perwakilan dari IKA UNS, Dr. Abdul Kharis Almasyhari mengatakan bahwa teknologi metalurgi yang sudah maju dan keunggulan yang dimiliki oleh budaya Jawa, keris bisa menjadi salah satu yang bisa diberikan apresiasi. Banyak yang beranggapan bahwa keris merupakan suatu yang mistis, padahal jika dilihat dari segi akademik sesungguhnya keris mempunyai nilai keilmiahan yang bisa dipertanggung jawabkan. Sehingga tidak berlebihan untuk mengangkat tema ini.

Pemikiran yang sama juga disampaikan oleh Wakil Rektor Perencanaan Kerjasama Bisnis dan Informasi UNS, Prof. Dr.rer.nat Sajidan, M.Si. “Keris merupakan sesuatu yang dihormati, memiliki filosofi dan variasi jenis sehingga menjadi keunggulan lokal yang juga menjadi unggulan di tingkat Internasional,” terang Prof. Sajidan.

Wedangan IKA UNS Bahas Tosan Aji Dalam Budaya Kearifan Lokal

Sebagai seseorang yang berperan dalam membawa keris menjadi warisan budaya yang diakui UNESCO, KRT Gaura Mancacaritadipura menyampaikan sejarahnya untuk mendapatkan nominasi dan penetapan keris Indonesia di UNESCO. Pada awalnya Yayasan Damartaji yang dibimbing Haryono Haryoguritno ditugaskan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata dan ada 49 kriteria yang harus dipenuhi. Kerisologi,  secara garis besarnya dunia sudah memberikan perhatian pada budaya keris dari berabad-abad yang lalu.  Keris juga dijadikan sebagai cinderamata dari kerajaan, sehingga tidak heran banyak keris yang dimuseumkan.

Sedangkan Empu Basuki Teguh Yuwono, M.Sn. juga menegaskan bahwa yang masih menjadi kesalahan adalah pemikiran bahwa keris semata-mata hanya senjata dan benda mistis. Padahal keris hadir sebagai bahasa komunikasi, semua bisa ditandai melalui keris. Melalui keris mampu menundukkan manusia yang lebih beradab. Selaku insan perkerisan, seniman keris tidak hanya membuat keris secara terus-menerus tetapi juga merubah pemikiran. Sebagai seni budaya yang bersifat lokal, keris identik sebagai budaya dunia.“Kita tidak perlu ada kecemasan untuk membuka budaya keris ke masyarakat dunia. Semakin banyak yang mengakses maka semakin banyak yang mengetahui maknanya,” ungkap Empu Basuki.

Untuk memahami seni dan budaya lokal di tengah budaya global, keris sebagai simbol kearifan lokal untuk mempublikasikan ke dalam negeri bisa dengan cara memfokuskan ke generasi milenial. Sehingga membutuhkan bahasa yang modern, buku-buku rujukan mudah dipahami, esensi agar mudah diterima adalah menggunakan bahasa dan kemauan.

Prof. Sahid Teguh Widodo, M.Hum., Ph.D. menambahkan mengenai purwaka keris, diduga mengalami puncak pada masa kejayaan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang mengharuskan setiap warga masyarakat memiliki keris. Keris menjadi bukti kemajuan teknologi, yang salah satunya di bidang metalurgi di masa lalu.

Humas UNS

Reporter: Erliska Yuniar Purbayani
Editor: Dwi Hastuti

Scroll to Top
Skip to content