Dokter Spesialis Patologi Klinik RS UNS Jawab Keraguan Efektivitas Vaksin Melawan Omicron

Dokter Spesialis Patologi Klinik RS UNS Jawab Keraguan Efektivitas Vaksin Melawan Omicron

UNS — Sejak pertama kali dikonfirmasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI pada Kamis (16/12/2021) yang lalu, kasus Omicron di Tanah Air terus bertambah.

Berdasar update terakhir pada Senin (27/12/2021), kasus Omicron di Indonesia tercatat sudah menembus angka 46 orang. Hasil ini didapat usai Kemenkes melakukan uji Whole Genome Sequencing (WGS) terhadap sampel yang diperiksa.

Pertambahan kasus Omicron di Indonesia langsung menarik perhatian dari sejumlah pihak. Pasalnya, pertambahan kasus terjadi ketika angka vaksinasi ke-2 Covid-19 sudah mencapai 110.620.807.

Selain itu, kekhawatiran masyarakat terhadap Omicron mulai muncul sebab beredar kabar bahwa vaksin Covid-19 yang sudah disuntikkan ternyata tidak efektif melawan Omicron. Lantas, benarkah demikian?

Dokter Spesialis Patologi Klinik Rumah Sakit (RS) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta dr. Tonang Dwi Ardyanto, Sp.PK(K), Ph.D, FISQua mengatakan, vaksin Covid-19 yang digunakan saat ini baru berfokus pada gejala berat dan kematian.

Apabila ingin mendapatkan vaksin Covid-19 yang mampu mencegah infeksi di saluran pernapasan bagian atas, tentu waktu yang dibutuhkan akan lebih lama.

“Di negara yang menghadapi Omicron, misal Inggris, cakupan vaksinasinya sudah tinggi. Ketika Omicron menyebar secara angka lebih banyak dari kelompok yang sudah divaksin. Tapi, kalau secara proporsional atau persentase, lebih banyak dari kelompok yang belum divaksin,” terang dr. Tonang, Senin (27/12/2021).

Berkaca dari meledaknya pertambahan kasus Omicron di Inggris, ia menjelaskan bahwa risiko orang yang sudah divaksinasi Covid-19 untuk menjalani rawat inap ketika terjangkit Omicron hanya 31-45 persen.

Sedangkan, bagi mereka yang belum disuntik vaksin Covid-19, risiko menjalani rawat inap di ruang isolasi ketika terjangkit Omicron meningkat menjadi 50-70 persen.

dr. Tonang menyampaikan, persentase rawat inap untuk orang yang sudah divaksinasi Covid-19 ketika terjangkit Omicron, lebih rendah daripada Delta yang menyebar pada pertengahan tahun ini.

“Sedangkan, pada yang belum pernah terinfeksi dan belum divaksinasi Covid-19 risikonya sebesar 11 persen dibandingkan varian Delta. Ini artinya, 4-7 kali lebih tinggi daripada kelompok yang sudah divaksinasi Covid-19,” tambah dr. Tonang.

Jika melihat cakupan vaksinasi Covid-19 di Indonesia, ia mengatakan persentase suntikan vaksin lengkap sudah mencapai 40,65 persen. Sekitar 17 persen masyarakat baru mendapat suntikan pertama, sedangkan sekitar 42,3 persen belum mendapatkan vaksin Covid-19 sama sekali.

Dari persentase tersebut, dr. Tonang mengkhawatirkan kelompok yang belum tervaksinasi Covid-19 akan lebih mudah terjangkit Omicron.

“Dan yang perlu diingat yang lebih cepat tertular adalah yang prokesnya paling kendor. Tidak pakai masker dan tidak rajin cuci tangan. Untuk mereka yang punya antibodi, virus akan lebih cepat bersih. Tapi, yang tidak punya baru bersih virusnya sekitar 14 hari sejak terinfeksi,” ujar dr. Tonang.

Perlukah memakai booster?

Karena vaksin Covid-19 yang sudah diproduksi masih belum mampu menghindarkan orang dari varian baru SARS-CoV-2, muncul wacana untuk menyuntikkan booster.

Perlu diketahui, booster berbeda dengan dosis ketiga yang selama ini salah diartikan banyak orang. Booster merupakan vaksin tambahan untuk memastikan dua dosis vaksin Covid-19 yang sudah disuntikkan telah membentuk imunitas.

Sedangkan, dosis ketiga adalah vaksin yang wajib disuntikkan dan menjadi bagian utama vaksin Covid-19, layaknya dosis pertama dan kedua.

Untuk wacana itu, dr. Tonang mengutarakan bahwa keharusan penyuntikkan booster perlu didalami dulu. Sebab, laporan ini masih berasal dari penelitian laboratorium.

“Istilahnya baru in vitro. Tidak salah, hanya harus pelan-pelan bila diterjemahkan di lapangan. Laporan itu dari negara-negara yang vaksinasinya sudah 70-80 persen tapi di Indonesia kan baru 40-an persen,” imbuh dr. Tonang.

Ia mengatakan, walau seseorang berisiko terjangkit Omicron, bukan berarti efektivitas vaksin Covid-19 hilang. dr. Tonang menampik anggapan ini dan menegaskan efektivitas vaksin Covid-19 hanya menurun.

Daripada fokus membahas booster, dr. Tonang justru meminta Pemerintah untuk segera menggencarkan suntikan dosis kedua vaksin Covid-19.

“Ini lebih penting, lebih bermakna, dan lebih kuat efeknya komunalnya menghadapi apa pun varian Covid-19 yang masih ada dan mungkin akan ada,” imbuhnya.

Kapan booster bisa disuntikkan?

dr. Tonang menerangkan bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Kemenkes sama-sama menyetujui penyuntikkan booster dilakukan saat 50 persen masyarakat sudah divaksinasi Covid-19.

“Asumsi proporsi jumlah penyintas yang belum divaksinasi sekitar 20 persen, sebagian besar penyintas sudah divaksinasi, maka vaksinasi 50 persen itu ditambah 20 persen bisa mencapai sekitar 70 persen,” kata dr. Tonang.

Dengan persentase ini, ia menyebut Kemenkes sudah bisa mempertimbangkan penyuntikkan booster. Dengan catatan, vaksinasi Covid-19 primer harus tetap dilakukan dan booster disuntikkan untuk kelompok berisiko tinggi.

“Dengan kecepatan pemberian vaksin rata-rata dalam tujuh hari terakhir ini, maka kita bisa mencapai 50 persen itu dalam waktu sekitar 30-50 hari lagi,” pungkasnya. Humas UNS

Reporter: Y.C.S. Sanjaya
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content