Dosen K3 UNS Paparkan Langkah Bekerja dengan Aman dan Sehat di Tengah Pandemi

UNS – Adanya pembatasan gerak sosial di era pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) memang menyebabkan perubahan drastis pada dunia industri yang akhirnya berdampak bagi stabilitas ekonomi para pekerja. Namun, ada aspek lain yang juga harus menjadi perhatian lebih bagi perusahaan yang masih beroperasi di tengah pandemi ini, yakni Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) para pekerjanya. Termasuk K3 bagi para pekerja informal yang mencapai angka 61% dari jumlah tenaga kerja global.

Dr. Isna Qadrijati, Kepala Program Studi (Kaprodi) Diploma 4 K3 Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta memaparkan beberapa langkah pencegahan dan mitigasi agar tetap aman saat bekerja di tengah Covid-19, baik bagi para pekerja formal maupun informal. Hal tersebut disampaikan saat menjadi narasumber dalam “Vocational Coaching Corner – Special Series” yang digelar oleh Sekolah Vokasi (SV) UNS bersama Anif Nur Artanti, S.Farm.,M.Sc.,Apt, Kaprodi D3 Farmasi UNS dengan tema “Menjaga Kondisi Prima saat Pandemi”.

Yang pertama, Dr. Isna menjelaskan langkah yang dapat diambil oleh sektor industri formal. Diantaranya dengan melakukan komunikasi antara pengusaha dan pekerja terkait kelangsungan usaha, memastikan langkah-langkah pengendalian, serta integrasi kesiapsiagaan darurat dalam Sistem Manajemen K3 (SMK3).

Integrasi SMK3 ini, imbuh Dr. Isna, berupa penetapan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian risiko. Termasuk di dalamnya sosialisasi K3 bagi para pekerja dari praktisi terkait dan perencanaan berbagai skenario untuk menghadapi kondisi darurat ini.

“Jika di industri formal atau industri besar, sosialisasi dari praktisi K3 dapat dilakukan dengan lebih mudah, karena manajemennya sudah baik. Tetapi untuk UMKM misalnya, kita bisa sosialisasi ke pemilik usaha, yang nanti materi dari kita disampaikan secara mandiri oleh pemilik usaha kepada pegawainya,” ujarnya pada Senin (18/5/2020).

Dr. Isna menuturkan bahwa ada lima hal yang harus diperhatikan oleh pekerja formal untuk bekerja dalam kondisi ini. Pertama yaitu membudayakan kebersihan dan higienitas sebagai elemen kunci untuk memutus rantai penularan. Yaitu dengan rutin membersihkan permukaan meja, gagang pintu, telepon kantor, dan benda kerja lain dengan disinfektan.

“Strategi pencegahan semacam ini harus kita lakukan terus menerus. Bahkan bisa menjadi life style masyarakat Indonesia. Seperti rutin membersihkan meja kerja, gagang telepon kantor, gagang pintu, dan lainnya,” kata Dr. Isna.

Berdasarkan Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja International Labour Organization (ILO), ketersediaan perlengkapan pendukung higienitas tempat kerja merupakan tanggung jawab utama pemilik perusahaan. Pengusaha harus menjamin tempat kerja dalam kondisi aman, ketersediaan handsanitizer, dan mengusahakan terciptaknya physical distancing.

Kemudian kedua yaitu menciptakan jarak fisik, ketiga edukasi penggunaan dan pembuangan APD dengan benar, keempat pelatihan dan komunikasi, serta kelima melakukan pengendalian risiko sesuai kebutuhan masing-masing pekerja. Hal ini dikarenakan kebutuhan satu bagian dengan bagian lain tentu berbeda sebagaimana kondisi masing-masing bidang.

Dosen Sekolah Vokasi UNS ini mencontohkan kebutuhan pekerja tanggap darurat di garis depan yang berbeda risiko penanggulangannya dengan pekerja di layanan dasar serta pekerja di ruang kerja berkepadatan tinggi. Pekerja tipe pertama adalah tenaga medis rumah sakit, petugas laboratorium, pekerja perawatan jenazah, dan petugas kebersihan serta pengelolaan limbah di fasilitas layanan kesehatan. Tipe pekerja ini membutuhkan pengendalian risiko berupa pengendalian lingkungan dan rekayasa untuk mengurangi penyebaran patogen dan kontaminasi permukaan benda.

Sementara itu, pekerja tipe kedua membutuhkan tindakan berupa karantina wajib, penutupan layanan dan bisnis, bahkan penutupan pabrik untuk beberapa waktu. Sebab, pekerjaan ini sangat riskan terjadinya penularan, di mana pekerja dengan pelanggan atau pekerja lain jaraknya dapat begitu dekat.

Lebih lanjut, Dr. Isna pun menyoroti para pekerja yang rentan dan memiliki risiko K3 lebih tinggi namun tidak memiliki APD yang memadai. Salah satunya adalah para pekerja informal seperti petugas kebersihan dan pedagang di pasar maupun keliling yang harus tetap bekerja di luar rumah.

“Maka mereka perlu dukungan dari kita semua. Di pasar tradisional, para pedagang di sana harus diberi sosialisasi dan informasi tentang bagaimana bekerja dengan sehat dan aman dari pegiat K3. Lalu, minimal pemerintah desa setempat juga dapat membantu penyediaan masker sebagai APD-nya dan memberikan akses terhadap layanan kesehatan masyarakat,” ujar Dr. Isna.

Dalam sosialisasi tersebut, tutur Isna, peran praktisi K3 sangatlah strategis. Mereka menjadi aktor kunci untuk memfasilitasi akses informasi pekerja dan manajemen sebuah perusahaan terkait K3 selama pandemi ini. Juga sebagai bagian dari pembuatan atau revisi rencana untuk pencegahan, penahanan, mitigasi, dan pemulihan. Isna pun berharap, Pos UKK di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dapat berjalan aktif sehingga mampu bersiaga untuk memberi pelayanan kesehatan terbaik di tengah pandemi Covid-19 ini.

“Banyak aspek yang perlu disatukan untuk mengurangi dampak krisis kesehatan pada masa pandemi Covid-19 di dunia kerja. Keselamatan dan Kesehatan Kerja tetap menjadi investasi utama untuk melindungi kesehatan pekerja dan memastikan kelanjutan usaha,” pungkasnya. Humas UNS/Kaffa

Skip to content