FH UNS Gelar Kuliah Akbar Kapita Selekta Hukum Tata Negara

UNS – Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum (FH) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta mengulas secara mendalam sejumlah problematika yang terjadi di tanah air dari perspektif HTN selama pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dalam ‘Kuliah Akbar: Kapita Selekta Hukum Tata Negara’, Sabtu (16/5/2020).

Sejumlah problematika yang menjadi topik bahasan seperti respon pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19, kesinambungan kebijakan pemerintah pusat dengan daerah, krisis kesehatan, dan krisis konstitusi dibahas lengkap oleh 9 narasumber. Mereka adalah Maria Madalina, S.H., M.H., Suranto, S.H., M.H., Dr. Isharyanto, S.H., M. Hum., Dr. Agus Riwanto., Dr. Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H., Dr. Jadmiko Anom Husodo, S.H., M.H., Adriana Grahani Firdausy, S.H., M.H., Achmad., S.H., M.H., dan Sri Wahyuni, S.H., M.H.

Di hadapan 400 peserta yang mengikuti jalannya kuliah akbar, Dr. Isharyanto yang merupakan Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni FH UNS, menyampaikan materinya yang berjudul ‘Skenario Hubungan Pusat dan Daerah: Nasionalisasi Masalah, Peminggiran Pemerintah Lokal?’

“Di Indonesia pemerintah nampaknya memilih untuk melakukan sentralisasi. Sehingga peran pemerintah daerah dalam pandemi ini nampaknya belum terkonsolidasikan. Ada sisi kontradiktif, baik karena garis perundang-undangan maupun karakter kepemimpinan daerah, yang membuat otonomi daerah dalam menanggulangi Covid-19 menjadi remang-remang,” ujar Dr. Isharyanto.

Lebih lanjut, Dr Isharyanto mengatakan bila terdapat dua jalur komando yang dijadikan dasar dalam penanggulangan pandemi Covid-19, yaitu UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Pendapat Dr. Isharyanto tersebut lantas diperkuat oleh Dr. Sunny yang mengatakan bila dilihat dari perspektif krisis kesehatan, dasar hukum yang digunakan untuk menetapkan penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional nonalam dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 adalah Permenkes 75 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan.

“Permen ini payungnya UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Permenkes itu tujuannya memberikan panduan kepada pelaku penanggulangan krisis kesehatan di tingkat daerah dan pusat, agar terselenggara sistem penanggulangan krisis kesehatan yang terkoordinasi, terencana, terpadu, dan menyeluruh guna memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak permasalahan kesehatan,” sambung Dr. Sunny.

Saat ditanya mengenai rekrutmen massal tenaga kesehatan yang dilakukan oleh komunitas/ lembaga kemasyarakatan di luar kendali pemerintah pusat sebagai pemegang komando penanganan pandemi Covid-19, Dr. Sunny menjawab bila menilik dari UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan maka hal tersebut sah-sah saja untuk dilakukan. Sebab, Dr. Sunny menganggap bila setiap elemen masyarakat, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat punya tanggung jawab untuk bersama-sama meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Respon pemerintah pusat dalam penanganan pandemi Covid-19 juga tak luput dibahas. Bagi, Dr. Jadmiko untuk dapat mewujudkan pemerintahan yang tanggap harus memenuhi 5 syarat.

“Pertama, pemerintah harus sigap dan tanggap terhadap pandemi yang terjadi di masyarakat. Lalu, pemerintah juga harus otonom dan bercermin di dalam produk kebijakannya. Hukum harus berpihak kepada rakyat dengan berdasar ‘human emancipation’ yang menjadi tujuan kebijakan otonom. Keempat pemerintah juga harus melayani kepentingan sosial ini yang menjadi prinsip, dan terakhir rasional berperasaan yang artinya ‘common sense’ dan hati yang jernih harus berjalan seiring,” jelas Dr. Jadmiko.

Dr. Jadmiko menegaskan jika siasat dan sikap pemerintah untuk bertindak responsif guna mewujudkan ‘salus populi suprema lex esto’ harus ditujukan bagi keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi. Hal tersebut disampaikannya sebagai refleksi kritis atas antagonisme diktator.

“Barangkali kita membutuhkan kekuasaan yang diktator tetapi diktator yang necessary, yang dibutuhkan, dan friendly. Meski diktator tapi harus dibatasi untuk menjadi bagian bertindak responsif guna mewujudkan ‘salus populi suprema lex esto’,” ujar Dr. Jadmiko. Humas UNS/Yefta

Skip to content