Sebagai Katup Ekonomi, Peneliti UNS Sebut Ketahanan Perempuan Difabel Rentan di Masa Pandemi

UNS — Survei daring Jaringan Difabel Indonesia pada 2020 terhadap 1.683 responden dari 216 kabupaten mengatakan, 80,9% difabel mengalami dampak negatif dari Covid-19. Dampak tersebut salah satunya ialah 86% difabel di sektor informal mengalami penurunan pendapatan sebesar 50-80%.

Lebih khusus, Dr. Rina Herlina Haryanti, S.Sos., M.Si., peneliti Pusat Penelitian Kependudukan dan Gender (PPKG) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta pun menuturkan, daya lenting atau kemampuan bertahan perempuan difabel sebagai katup ekonomi keluarga lebih rentan di masa pandemi ini.

Perempuan difabel, tutur Dr. Rina, memiliki beban ganda yakni kewajiban mengurus domestik sekaligus harus bergerak di publik. Perihal domestik ini, salah satunya adalah mendampingi anak belajar di rumah, apalagi saat ini bertumpu pada teknologi yang membutuhkan pengetahuan lebih.

Hal ini pun tidak terlepas dari kondisi difabel, baik individu maupun keluarga, yang secara umum berada di tingkat ekonomi dan pendidikan rendah. Mereka juga mengalami triple discrimination dan stigma. Stigma sebagai perempuan, stigma sebagai seorang difabel, dan stigma tentang perempuan miskin

“Rata-rata perempuan difabel berstatus masyarakat miskin. Sama seperti perempuan pada umumnya, mereka juga harus mengatur keuangan, bagaimana di rumah bisa makan. Di sisi lain, untuk turut menunjang pemasukan keluarga, dia harus keluar bekerja, bergerak, dan berinteraksi,” ujar Dr. Rina saat dihubungi uns.ac.id, Selasa (16/2/2021).

Kondisi yang mengharuskan perempuan difabel berinteraksi di luar rumah dan bermobilitas tinggi, membuatnya rentan terpapar Covid-19. Terlebih, dengan ragam disabilitas yang banyak, membuat teman-teman difabel tidak hanya membutuhkan protokol kesehatan 3M atau 5M pada umumnya.

Beberapa ragam disabilitas, imbuh Dr. Rina, membutuhkan cara pencegahan Covid-19 yang berbeda. Contohnya difabel yang menggunakan alat bantu seperti tongkat untuk tunanetra dan kursi roda. Alat bantu tersebut pun perlu mendapat perlakuan khusus, seperti perlu disemprot disinfektan. Begitu juga difabel yang menggunakan kursi roda yang harus melintas di berbagai tempat.

Lalu perempuan tunawicara dan tunarungu yang bekerja dengan berjualan, komunikasi dengan para pelanggan nondifabel mengalami kesulitan karena harus menggunakan masker. Biasanya, mereka memahami apa yang dibicarakan dengan tulis menulis atau minimal bicara pelan.

“Tapi sekarang pakai masker. Otomatis hanya tulis menulis yang lebih ribet. Bisa jadi pelanggan lebih memilih ke penjual lain,” kata Dr. Rina

Di sisi lain, pada kondisi semacam ini dengan penghasilan menurun, ada ancaman pinjaman rentenir. Tawaran yang memang menarik dan mudah tetapi menjerat pada akhirnya.

Di akhir perbincangan, Dr. Rina kembali menegaskan, keterpurukan dari sisi ekonomi dan pendapatan masyarakat secara umum, apalagi difabel, memang menyebabkan ketahanan keluarga di era pandemi rentan KDRT, perceraian, dan kemiskinan yang semakin dalam.

“Mereka butuh perhatian dari banyak pihak. Dari masyarakat, komunitas, dan negara. Ketika bicara pandemi, untuk difabel bisa bertahan di tengah pandemi berarti sebuah situasi yang patut diapresiasi,” terang Dr. Rina. Humas UNS

Reporter: Kaffa Hidayati
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content