Aku Menulis Skripsi, Maka Aku Ada

Wacana Kemenristek Dikti untuk menghapus skripsi sebagai syarat wajib lulus mahasiswa jenjang strata satu masih menuai pro-kontra. Sikap pro ditunjukkan oleh kalangan mahasiswa yang menganggap skripsi memberatkan dan menghambat mereka untuk lulus. Sedangkan sikap kontra ditunjukkan oleh kalangan dosen, rektor, dan universitas dimana mereka tetap menghendaki skripsi sebagai syarat wajib lulus untuk mahasiswa jenjang strata satu.

Penghapusan skirpsi ini didasarkan pada banyaknya kecurangan yang terjadi selama pengerjaan skripsi. Menristek Dikti, Mohammad Nasir, ingin meminimalisir tindak kecurangan yang dilakukan oleh mahasiswa hanya uuntuk mendapatkan selembar ijazah tingkat strata satu ini.

Jika wacana ini nantinya direalisasikan, apakah mahaiswa S1 rela disejajarkan dengan mahasisa Diploma dengan pengerjaan Tugas Akhir sebagai syarat lulus? Skripsi menjadi syarat lulus bagi mahasiswa S1 karena seorang yang menyandang predikat sarjana strata satu dianggap sebagai seorang peneliti. Kajiannya lebih banyak bersifat teoretis daripada praktis. Dia belajar teori untuk kemudian teori itu diaplikasikan di masyarakat dan diharapkan mampu menjadi solusi untuk masalah yang ada.

Mahasiswa yang tidak setuju skripsi sebagai syarat lulus S1 biasanya lebih menyukai hal-hal yang berifat praktis daripada teoretis. Selama masa kuliahnya, mahasiswa tipe ini tidak menyukai proses perkuliahan di kelas yang hanya mendengarkan ceramah dosen. Mereka beranggapan bahwa teori itu membosankan. Mereka lebih senang mengeksplore ide-ide nakal untuk kemudian direalisasikan dalam wujud yang bisa kita lihat.

Selalu ada mahasiswa tipe semacam itu di setiap jurusan. Namun seperti yang dijelaskan sebelumnya, mahasiswa S1 merupakan seseorang yang sudah dianggap sebagai seorang peneliti. Mereka berkontribusi secara aktif terhadap pengembangan riset di Indonesia. Jika skripsi tidak lagi menjadi syarat lulus untuk mahasiswa S1, siapa lagi yang bisa diandalkan untuk pengembangan riset di Indonesia?

Mahasiswa S1, prodi apapun itu, dituntut memiliki kemampuan yang sama, yaitu meneliti. Skripsi dan penelitian seakan menjadi kompetensi dasar bagi seorang penyandang predikat sarjana strata satu. Terlebih bagi mereka yang berencan untuk melanjutkan studinya, menjadi ilmuwan, atau menjadi dosen.

Mahasiswa yang memilih mengerjakan TA daripada skripsi pun pada akhirnya diwajibkan untuk membuat laporan tertulis terkait hasil karya yang mereka wujudkan. Ya, mereka pada akhirnya akan menulis. Tidak ada bedanya dengan mahasiswa yang menyusun skripsi. Teori dan praktik sama-sama dibutuhkan untuk menyusun skripsi maupun TA.

Alasan yang biasanya digaungkan mahasiswa terkait keengganan mereka menyusun skripsi adalah ribet dan lamanya waktu pengerjaan. Apalagi ditambah dosen pembimbing yang lebih memilih bertamasya keluar kota hingga keluar negeri menghadiri segala konferensi yang dianggap lebih penting daripada memberi bimbingan skripsi. Pembimbing skripsi menjadi alasan terkuat mahasiswa untuk menunda dan menghindari skripsi.

Dari pembimbing yang sulit ditemui itulah, kemudian muncul mindset bahwa skripsi itu sulit hingga menjadi momok yang begitu menakutkan di kalangan mahasiswa S1. Ditambah predikat skripsi sebagai syarat sah lulus untuk meraih gelar sarjana. Tanpa skripsi, mereka tidak bisa lulus.

Wacana Kemenristek Dikti seakan menjadi angin segar bagi mahasiswa yang tidak menginginkan keberadaan skripsi. Namun, benarkah wacana ini adalah pilihan yang tepat? Jika menengok keadaan bangsa ini yang masih jauh dari kata ilmiah, penghapusan skripsi bukanlah pilihan yang tepat. Memang kecurangan masih begitu marak terjadi tapi bukan berarti hal ini bisa dijadikan alasan kuat untuk wacana tersebut. Masih ada pilihan-pilihan lain yang lebih solutif jika memang pak menteri menginginkan ijazah sarjana strata satu diperoleh dengan jujur hasil usaha mahasiswa itu sendiri.

Baca selengkapnya: Aku Menulis Skripsi Maka Aku Ada

Penulis: Maulidiah
Beri Like jika kamu sepakat dengan ide Maulidiah

Skip to content