Antara Kampus Tanpa Rokok Dengan Green Campus hingga World Class University

Rokok bukanlah hal yang asing lagi bagi masyarakat Indonesia, bahkan pesonanya telah terkenal di berbagai kalangan. Populasi perokok terus meningkat, tahun demi tahun. Pada 1995, hanya 27 persen penduduk Indonesia yang mencandu rokok. Namun 15 tahun kemudian, Riset Kesehatan Dasar yang digelar Kementrian Kesehatan, 2010, menunjukkan ada 80 juta jiwa atau 34 persen penduduk Indonesia mencandu rokok. Bahkan, menurut data terbaru Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2014, 18,3 persen pelajar Indonesia yang merupakan generasi muda telah mempunyai kebiasaan merokok. Angka-angka tersebut jelas sudah berada pada tahap mengganggu dan meresahkan masyarakat. Namun, masih banyak masyarakat yang cenderung apatis dengan permasalahan rokok ini. Belum lagi dengan kerugian-kerugian yang ditimbulkannya.

Perguruan tinggi merupakan tempat pendidikan paling tinggi bagi generasi muda. Menurut Prof. Edy, ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), perguruan tinggi jangan hanya menjadi institusi yang pasif dalam menghadapi masalah rokok tersebut. Hal ini dikarenakan perilaku merokok saat ini justru semakin menjadi hal yang dapat dengan mudah ditemukan diberbagai tempat, bahkan di dalam lingkungan kampus yang menjadi tempat belajar mengajar. Sangat mudah kita temukan orang yang merokok di lingkungan kampus, mulai dari dosen, pegawai, dan khususnya mahasiswa. Mahasiswa yang menjadi civitas kampus paling banyak tentunya juga menjadi penyumbang perokok aktif terbesar di dalam kampus jika dibandingkan dengan civitas kampus lainnya. Sungguh disayangkan. Mahasiswa  yang seharusnya berperan sebagai Iron stock, tunas bangsa ini ternyata sudah layu oleh rokok. Agent of change yang imun akan rokok, dan Guardian of value yang ke­hilangan nilai sehat untuk dijaga. Terlebih Mahasiswa Kedokteran yang notabene mengemban amanah sebagai Agent of health, agen yang diharapkan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan di masyarakat.

Untuk itu, perlu diberlakukan kebijakan di masing-masing perguruan tinggi untuk mengatasi masalah rokok tersebut. Kebijakan yang dimaksud adalah Kampus Tanpa Rokok (KTR). Kampus Tanpa Rokok (KTR) adalah larangan untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan atau mempromosikan produk tembakau di lingkungan kampus. Namun, saat ini Kampus Tanpa Rokok (KTR) belum dilaksanakan di semua perguruan tinggi di Indonesia, bahkan perguruan tinggi yang menerapkan aturan larangan merokok di lingkungan kampus, baru Universitas Indonesia, Jakarta. Salah satu alasan belum diberlakukannya kebijakan tersebut adalah perusahaan-perusahaan rokok yang memberikan kontribusi yang besar bagi dunia pendidikan, khususnya di tingkat perguruan tinggi, yaitu dengan memberikan beasiswa bagi mahasiswa yang berprestasi, ataupun mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi. Jika dilihat secara mendalam, alasan tersebut bukanlah alasan yang kuat untuk melandasi tidak diberlakukannya KTR dikarenakan beasiswa-beasiswa tersebut bisa didapatkan dari perusahaan-perusahaan lain. Selain itu, terdapat banyak sekali beasiswa-beasiswa di luar dari kontribusi perusahaan rokok, baik beasiswa dari Pemerintah RI maupun pihak swasta yang dapat digunakan. Alasan lain adalah dikhawatirkan adanya protes dari civitas kampus yang kontra terhadap KTR yang akan mengganggu kegiatan-kegiatan di dalam kampus itu sendiri. Hal ini juga tidak dapat dijadikan alasan yang dapat mendasari dikarenakan rokok akan lebih mengganggu kegiatan-kegiatan kampus dan jika kebijakan itu dilaksanakan secara tegas maka pihak yang kontra terhadap KTR lama-kelamaan akan menerima kebijakan tersebut, tentunya tidak serta-merta diterima, melainkan dengan proses dan pendekatan-pendekatan persuasif. Dan sebenarnya, jika ditelisik lebih dalam kebijakan kampus tanpa rokok memiliki banyak dampak positif yang tentunya berpengaruh pada masing-masing perguruan tinggi itu sendiri.

Baca selengkapnya: Antara Kampus Tanpa Rokok Dengan Green Campus hingga World Class University

Penulis: Yuniyarti Arsitasari
Beri Like jika kamu sepakat dengan ide  Yuniyarti Arsitasari

Skip to content