Ilmuwan Perempuan dan Kepemimpinan Akademik

Ilmuwan perempuan Indonesia sebenarnya sudah cukup banyak, namun kepemimpinan akademik perempuan secara struktural masih sedikit sekali. Jika tak sedikit kicauan mengenai persoalanminimnya kepemimpinan perempuan sebagai pucuk pimpinan di perguruan tinggi di Indonesia, maka Universitas Sebelas Maret (UNS) adalah salah satu representasinya. Ilmu memang sudah begitu jauh membebaskan kaum perempuan menjadi pembelajar ilmu, namun masih belum sampai menjadikan perempuan pantas, selayaknya, bahkan sudah sewajibnya menjadi pemimpin akademik di perguruan tertinggi di negeri ini.

Terpilihnya Dwikorita Karnawati (2014-2017) sebagai rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) menggantikan Pratikno membuat jagad pemberitaan kepemimpinan akademik perempuan kembali ramai. Beberapa situs berita online kembali mengulas fenomena rektor perempuan dan gambaran kinerjanya. Sebagai contoh, rektor perempuan pertama Universitas Sriwijaya, Badia Perizade dengan kegigihan kerjanya mampu memegang tampuk kekuasaan tertinggi civitas academica selama dua periode. Universitas Sriwijaya meraih beberapa capaian yang membanggakan di bawah tangan cerdas Badia Perizade.

Sedangkan UNS menghadirkan kembali sosok Ravik Karsidi beserta jajaran pemimpin tertinggi universitas yang kesemuanya laki-laki sejak UNS berdiri tahun 1976. Sedikit berbeda dengan pucuk pimpinan UNS yang kesemuanya diduduki laki-laki itu, pada pelantikan dekan sepuluh fakultas lalu dijumpai dua sosok perempuan. Dua orang perempuan itu adalah Hunik Sri Runing Sawitri yang terpilih sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) dan Ismi Dwi Astuti Nurhaeni sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Kehadiran keduanya ibarat oase bagi perempuan-perempuan lain yang berkecimpung di dunia civitas academica UNS. Keduanya menjadi gambaran dan bukti bahwa dalam dunia kepemimpinan akademik, perempuan dan laki-laki memiliki kedikdayaan yang setara.

Meskipun terlihat geliat menuju kesetaraan gender, namun hal itu masih sangat minim terjadi di lingkungan Universitas Sebelas Maret. Sampai usianya yang menuju dekade keempat, belum pernah sekalipun rektor UNS dijabat oleh seorang ilmuwan perempuan. Seolah menjadi dekan adalah batas maksimal kemampuan kepemimpinan yang mampu diemban perempuan-perempuan di civitas academicaUNS. Itupun masih sangat terbatas jumlahnya. Barangkali, hal ini diperbenarkan secara gender politis bahwa jumlah rasio tenaga pendidik berdasarkan jenis kelamin laki-laki sebesar 65% jauh lebih banyak dibanding jumlah tenaga pendidik perempuan yang hanya berkisar 35%.

Mengingat jumlah kaum perempuan yang jauh di bawahlaki-laki, rupanya memiliki makna berbeda bagi dekan terpilih FEB dan FISIP yang akan menjabat sampai tahun 2018. Dekan terpilih FISIP Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, menurut cerita beberapa teman FISIP yang mengalami langsung kepemimpinannya, ialah sosok yang cerdas dan memiliki pembawaan cakap ketika berhadapan dengan publik, selain juga tergolong senior ihwal masa kerjanya di lingkungan civitas academicaUNS. Kombinasi antara hal-hal tersebut yang membuat senat fakultas memercayakan pucuk pimpinan FISIP dan menaruh berbagai harapan ihwal capaian-capaian akademik dan/non-akademik pada tangan cekatanseorang perempuan bernama Ismi. Terbukti, seorang mahasiswa aktif jurusan Sosiologi FISIP UNS menyatakan bahwa gerak birokrasi yang dijalankan Ismi lebih luwes dan fleksibel.

Bila boleh meminjam istilah Saparinah Sadli (1990: viii) dalam Perempuan dan Ilmu, disadari atau tidak, ke depan, fenomena kepemimpinan akademik perempuan akan bisa menjadi ‘role model’ yang dapat dipilih perempuan-perempuan lain dalam proses pengembangan karirnya, khususnya bagi mereka yang telah memiliki peluang menjadi pemimpin-ilmuwan.

Gerak Pengetahuan Perempuan

Pada dasarnya semua manusia memilikikedudukan yang sama di hadapan ilmu pengetahuan. Demikianlah yang bisa disimpulkan dari hasrat berpengetahuan yang diperjuangkan R.A.Kartini untuk kaum perempuan.Kartini sudah menyadari bahwa sumber pengetahuan tidak mungkin membuat perbedaan untuk dikuasai hanya karena seseorang berkelamin lelaki dan yang lainnya berkelamin perempuan. Sebagai contoh, baik di hadapan pembaca laki-laki maupun perempuan buku-buku teks (termasuk yang dianggap berasal dari Tuhan) tidak hadir dengan rupa berbeda.

Baca selengkapnya: Esai Ilmuwan Perempuan dan Kepemimpinan Akademik

Penulis: Rizka Nur Laily Muallifa
Beri Like jika kamu sependapat dengan ide Rizka Nur Laily Muallifa

Skip to content