Pseudo-Multikultural di Kampus Hijau

karena Tuhan pun pada mulanya

mengajarkan nama-nama

kepada Adam di surga

maka di hari ulang tahunmu yang ketiga

kuberikan padamu, anakku, dengan salam dan cinta

kaleidoskop nama-nama dalam beragam warna

(Puisi Hartojo Andangdjaja,[1] Mukadimah, 1976)

Realitas sosial tak cukup diukur dengan hal ihwal ragawi. Benda-benda sekadar merekam kira-kira saja. Itu pula yang mendasari penelitian sejarah tidak pernah final, meski jelas-jelas meneliti artefak masa lalu yang “selesai”. Artefaknya memang final, tapi pemaknaan atau tafsirnya selalu dan semakin berkembang. Jangan heran, bila kita masuk ke kampus induk Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) di Kentingan lewat pintu gerbang belakang lalu belok kanan, kita bisa mengira-ngira multikulturalitas UNS. Tempat-tempat ibadah lima agama resmi[2] di Indonesia berjajar rapi di sana: gereja umat Kristen dan Katolik, pura, wihara, serta masjid mewah di ujungnya.

Rektor UNS dua periode, Ravik Karsidi, mengamini bahwa UNS adalah kampus multikultural. Sejak penerimaan mahasiswa baru program Diploma UNS dua tahun lalu, Ravik sudah mengklaim multikulturalitas tersebut. “Dari total 2.268 mahasiswa baru program Diploma UNS tahun akademik 2013/2014, berdasarkan data, mereka berasal dari 27 provinsi,” ujar Ravik pada Okezone.com.[3] “Hal ini selaras dengan keinginan untuk membawa UNS menjadi PTN multikultural. UMBPT ini UNS menjadi terfavorit karena tzak lepas dari kredibilitas UNS yang semakin baik. Artinya UNS semakin dikenal,” tambahnya.[4] Daerah asal mahasiswa baru yang beragam itulah yang selama ini dijadikan acuan UNS, diwakili rektor, untuk mendefinisikan kampus multikultural.

Orang-orang lazim menggunakan term “multikultural” untuk menunjuk sejumlah kelompok sosial nonetnis yang dikucilkan dan/atau dikesampingkan dari aliran utama masyarakat, disebabkan oleh beberapa alasan. Will Kymlicka pernah menyebut bahwa di Amerika Serikat “multikulturalisme” sering mengacu pada upaya untuk membalikkan pengucilan bersejarah kelompok-kelompok seperti penyandang cacat, para homoseksual dan lesbian, perempuan, kelas pekerja, ateis, dan komunis. Bagi Kymlicka, sejatinya multikulturalisme adalah politik tentang hak-hak minoritas.

Bhikhu Parekh menambahkan, multikulturalisme hendaknya dilihat bukan sebagai doktrin politik dengan sebuah isi programatik, bukan juga sebagai sebuah perspektif tentang kehidupan manusia. Multikulturalisme setidak-tidaknya memiliki tiga wawasan sentral. Pertama, setiap manusia tumbuh dan hidup dalam dunia yang terstruktur secara kultural, kehidupan dan hubungan sosialnya diorganisasi menurut sistem makna. Kedua, kebudayaan-kebudayaan yang berbeda mencerminkan sistem makna dan pandangan tentang jalan hidup yang baik. Ketiga, semua kebudayaan kecuali yang paling primitif secara internal bersifat majemuk.

Sosiolog Anthony Giddens pun urun pendapat. Menurutnya multikulturalisme sering disalahartikan. Orang sering berpikir multikulturalisme berarti separatisme atau relativisme budaya. Orang juga sering menyalahkan multikulturalisme dalam kaitannya dengan terorisme. Giddens sendiri lantas menawarkan “sophisticated multiculturalism” yang menekankan pentingnya identitas dan hukum nasional, tetapi juga memperkuat hubungan antara kelompok-kelompok sosial dan etnis yang berbeda. Maka, Giddens lalu memandang multikulturalisme sebagai solidaritas sosial, alih-alih pemisahan. Poin utamanya adalah menemukan keseimbangan antara kewajiban-kewajiban universal dan kepekaan nilai dari kelompok yang berbeda-beda.

[1] Penyair kelahiran Solo, 4 Juli 1930, tutup usia pada 30 Agustus 1990. Andangdjaja termasuk salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan (1963) yang penuh polemik itu.

[2] Sebetulnya, dan seharusnya, ada enam agama utama resmi di Indonesia. Tapi tempat ibadah untuk umat Konghucu di kampus UNS memang belum ada.

[3] http://news.okezone.com/read/2013/08/27/373/856046/uns-masuk-10-besar-kampus-elite-ri/, diakses  pada 5 Januari 2016, pukul 9:40.

[4] http://www.solopos.com/2013/07/21/umb-pt-uns-solo-terfavorit-diminati-12-000-peserta-428854/, diakses pada 5 Januari 2016, pukul 9:45.

Baca selengkapnya: Pseudo-Multikultural di Kampus Hijau

Penulis: Udji Kayang Aditya Supriyanto
Beri Like jika kamu sepakat dengan ide Udji Kayang Aditya Supriyanto

 

Skip to content