Berharap (Banyak) dari Kongres Aksara Jawa

opini alumnus kongres aksara jawa
opini alumnus kongres aksara jawa

Oleh : Atiek Rachmawati, S.S
(Alumnus Prodi Sastra Daerah FSSR UNS (Sekarang FIB) Tahun 1999/ Guru Bahasa Jawa SMA N 2 Grabag, Magelang)

Definisi kongres/ kong-res menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pertemuan besar para wakil organisasi (politik, sosial, profesi) untuk mendiskusikan dan mengambil keputusan mengenai pelbagai masalah ; muktamar ; rapat besar. Sementara itu, definisi aksara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem tanda grafis yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyak mewakili ujaran. Merujuk pada aksara Jawa, adalah aksara yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa, berjumlah dua puluh aksara, bermula dengan HA dan berakhir dengan NGA.

Kongres Aksara Jawa (KAJ) adalah kegiatan yang diselenggarakan untuk membahas perkembangan, pelestarian dan permasalahan cara penulisan aksara Jawa. Kongres ini pertama kali digelar di Sriwedari, Surakarta pada tahun 1922. Di mana akhirnya, setelah beberapa tahun melakukan penyusunan, pada tahun 1926 kongres ini menghasilkan Wawaton Panyeratipun Tembung Jawi mawi Sastra dalasan Angka (Pedoman Penulisan Kata Jawa dengan Aksara Jawa dan Angka) atau lebih dikenal sebagai Wewaton Sriwedari (https://id.wikipedia.org/wiki/Kongres_Aksara_Jawa).

Merupakan sebuah kabar gembira yang ditunggu oleh berbagai lapisan masyarakat pemerhati, pecinta dan praktisi kebudayaan, di mana setelah hampir satu abad vakum, maka digelar KAJ pada 22-26 Maret 2021. Seperti yang disampaikan Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud) DIY, Sumadi, pada konferensi pers di Pendapa Dinas Kebudayaan DIY, Jumat  (19/3/2021), menjelaskan bahwa kongres kali ini dilaksanakan karena aspek kesejarahan. Selain itu, juga dilandasi keprihatinan generasi masa kini kurang memahami aksara Jawa.

KAJ I Yogyakarta yang dipusatkan di Hotel Grand Mercure Yogyakarta berlangsung luring dan daring. Dengan peserta lebih dari 1.000 orang. Peserta luring sejumlah 110 orang terdiri wakil akademisi, praktisi, budayawan, birokrat, dan masyarakat umum. Peserta daring 800 peserta terbagi 200 peserta komisi I, 200 komisi II, 200 peserta komisi III dan 200 peserta komisi IV. Di mana penjabaran untuk masing-masing komisi mewakili empat isu penting akan dibahas dalam forum KAJ I. Pertama, pembahasan tentang transliterasi aksara Jawa-Latin. Kedua, pembahasan tata tulis aksara Jawa yang akan fokus paugeran (tata tulis) termasuk di dalamnya tinjauan terhadap paugeran-paugeran penulisan aksara Jawa yang pernah ada dan masih digunakan. Tujuannya agar bisa disinkronkan dengan kebutuhan penulisan aksara Jawa era digital. Ketiga, digitalisasi aksara Jawa termasuk di dalamnya teknis penyiapan platform digital aksara Jawa, standardisasi type face aksara Jawa (fonta) serta standardisasi papan ketik aksara Jawa. Dan keempat, pembahasan kebijakan tentang aksara Jawa  agar bisa diimplementasikan secara nyata antara lain menyentuh level kebijakan dan penggunaannya pada level ranah publik.( https://koranbernas.id/)

Melihat jumlah peserta yang mencapai 1.000 orang, dan bahkan menurut panitia sebelumnya ada 2.000 pendaftar acara kongres secara daring, menunjukkan bahwa greget kecintaan dan upaya pelestarian aksara Jawa masih sangat kental di hati masyarakat. Aksara Jawa yang dikenal di tataran wilayah provinsi Derah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur mempunyai pengguna yang tidak sedikit. Dalam kurikulum pendidikan, aksara ini diajarkan sebagai bagian dari muatan lokal walaupun dengan penerapan yang terbatas dalam kehiduan sehari-hari. Akibatnya, aksara Jawa memiliki berbagai langgam historis kedaerahan yang digunakan silih berganti seiring berjalannya waktu.

Penggunaan aksara Jawa yang terbatas penerapannya secara tidak langsung telah mempengaruhi upaya pelestarian aksara Jawa sebagai bagian dari kebudayaan Jawa. Adanya kerancuan dalam proses pengajaran aksara Jawa pada tataran pendidikan jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah membuat pembelajaran aksara Jawa menjadi sebuah materi yang dianggap sulit oleh peserta didik.

Dengan adanya KAJ ini, setidaknya merupakan angin segar bagi dunia Pendidikan untuk lebih dapat menguatkan materi aksara Jawa dalam kurikulum muatan lokal. Namun memang perlu adanya sebuah standardisasi dan regulasi yang baku untuk nantinya benar-benar dapat diterapkan ditataran dunia Pendidikan, khusunya jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Pada KAJ 1 ini, dengan dibaginya kongres dalam 4 komisi yang mengangkat isu penting dalam upaya perlindungan, pengamanan, penyelamatan dan perawatan aksara Jawa, penulis melihat sudah mengakomodir berbagai upaya pelestarian aksara Jawa tersebut. Pada  komisi 1 mengakomodir standardisasi sistem transliterasi Jawa-latin, Pada komisi 2 mengakomodir ratifikasi kelengkapan aksara Jawa, di mana di dalamnya termasuk juga tinjauan terhadap paugeran-paugeran penulisan aksara Jawa yang pernah ada dan masih digunakan, dengan tujuan agar bisa disinkronkan dengan kebutuhan penulisan aksara Jawa era digital. Pada komisi 3 mengakomodir digitalisasi aksara Jawa, di mana di dalamnya terdapat teknis penyiapan platform digital aksara Jawa, standardisasi type face aksara Jawa (fonta) serta standardisasi papan ketik aksara Jawa, Dan yang terakhir, pada komisi 4 mengakomodir kebijakan sektor publik, birokrasi dan akademis, agar bisa diimplementasikan secara nyata antara lain menyentuh level kebijakan dan penggunaannya pada level ranah publik.

Melihat peserta kongres yang berasal dari wakil akademisi, praktisi, budayawan, birokrat, masyarakat umum pecinta dan pemerhati budaya, dan juga adanya dukungan dari pemerintah pusat dan daerah, bolehlah penulis berharap banyak bahwasanya hasil kongres benar-benar dapat mengakomodir dan merealisasikan berbagai upaya perlindungan, pengamanan, penyelamatan dan perawatan aksara Jawa tersebut. Adanya suatu formula yang menjadi amanat kongres juga harus bisa diupayakan dengan adanya sebuah legalitas atau payung hukum sampai pada lini terendah kehidupan masyarakat, yang dibarengi dengan sosialisasi yang terstruktur dan masif sehingga bisa sampai pada tataran terendah kehidupan masyarakat tersebut.

Penulis percaya dan menitipkan harapan besar pada kongres ini. Pertama untuk ranah aksara bisa dikerucutkan dengan adanya formula standardisasi aksara (transliterasi dan tata tulis). Apakah akan menggunakan Wewaton Sriwedari, KBJ ataukah nantinya muncul standar baku dari KAJ sendiri. Upaya ini sebagai tujuan untuk lebih memudahkan dan menarik minat masyarakat awam belajar dan mempelajari aksara Jawa. Kedua adanya payung hukum yang jelas, seperti Perda DIY No. 2 tahun 2021 tentang Pemeliharaan dan Pengembangan, Bahasa, Sastra dan aksara Jawa,  Perda Jateng No. 9 tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa dan No. 55 tahun 2014 tentang penggunaan aksara Jawa yang di terapkan dan dikawal penggunaannya pada semua instansi baik negeri, swasta dan masyarakat. Keriga upaya memasyarakatkan aksara Jawa yang melibatkan semua unsur daerah. Misal penulisan aksara Jawa yang mendampingi aksara latin di setiap papan nama instansi negeri, swasta dan masyarakat (seperti yang dilakukan Pemda Bali, DIY, Pemkot Surakarta dan beberapa daerah di Jawa Tengah), nama jalan dan bangunan (mall, resto, kafe dan lain-lain). Keempat, digiatkannya komunitas/ sanggar/ pelatihan aksara Jawa yang melibatkan akademisi, praktisi, pecinta dan pemerhati budaya dengan sebelumnya diadakan pelatihan aksara Jawa sampai tingkat karang taruna. Kelima memajukan pariwisata daerah dengan mengedepankan desa wisata/ budaya dan kampung wisata/ budaya yang selain menonjolkan kebudayaan daerah juga menonjolkan aksara Jawa di setiap bangunan dan atau penulisan aksara Jawa di kemasan produk lokal/ souvenir wisata.

Keenam sosialisasi digitalisasi aksara Jawa di semua media untuk lebih mendekatkan aksara Jawa kepada generasi milenial yang dekat dengan dunia digital.

Selamat berkongres para pejuang kebudayaan. Semoga bisa berjalan lancar dan menghasilkan formula penyejuk pelestarian aksara Jawa. Salam budaya-lestari budayaku. Aksara Jawa-lestari dan ngrembaka anjayeng bawana. (***)

Skip to content