Kantong Plastik Versus Masker Medis

Oleh: Bara Yudhistira, M.Sc
Dosen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian (FP), UNS

Akhir-akhir ini kita banyak menjumpai iklan maupun kampanye terkait dengan diet kantong plastik, baik di media elektronik maupun media cetak. Hal tersebut banyak disuarakan oleh berbagai pihak, mengingat sudah semakin nyatanya masalah yang ditimbulkan akibat sampah plastik yang kian hari kian menggunung. Bahkan dalam beberapa sumber menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara nomor dua penghasil sampah plastik terbesar di dunia.

Penggunaan plastik dalam aktivitas manusia memang tidak dapat dielakan lagi, terutama dalam penggunaanya sebagai kemasan atau wadah. Hal tersebut dikarenakan plastik mempunyai sifat fleksibel sehingga mudah diaplikasikan untuk setiap bentuk dan jenis kemasan dibandingkan dengan bahan lain seperti kaca, logam ataupun kertas. Menurut data Plastic Europe (2015), kemasan sejauh ini merupakan sektor aplikasi terbesar di industri plastik dan mewakili 39,6% dari total permintaan plastik.

Dalam rangka mengurangi produksi sampah kantong plastik seperti yang dirilis dalam laman solopos.com dengan judul “Berpotensi Raup Rp1,6 Triliun, Bisakah Cukai Plastik Kurangi Parahnya Polusi Laut?” tanggal 25 Februari 2020, pemerintah akan melakukan pemungutan tarif cukai terhadap kantong plastik, Manteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa penerapan cukai plastik bermaksud untuk menekan dampak negatif terhadap lingkungan dan makhluk hidup, jadi tidak hanya untuk menambah penerimaan negara saja.

Hal ini patut diapresiasi mengingat perlu adanya payung hukum yang jelas sehingga pelaksanaan dilapangan akan menjadi jelas. Tidak hanya oleh pemerintah pusat, beberapa pemerintah daerah telah merealisasikan upaya penanganan sampah dalam bentuk regulasi yang secara umum terkait larangan penggunaan kantong plastik antara lain yaitu Banjarmasin, Denpasar, Balikpapan, Bogor, Bekasi, Semarang dan Jakarta.

Selain itu beberapa lembaga pemerintah seperti Kemenristek dan Dikti (sekarang Kemendikbud) mengeluarkan Instruksi Menristekdikti Nomor 1/M/INS/2019 tentang Larangan Penggunaan Air Minum Berbahan Plastik Sekali Pakai dan/atau Kantong Plastik. Regulasi terkait dengan larangan penggunaan kemasan atau wadah berbahan plastik tersebut memang sangat diperlukan sebagai upaya preventif produksi sampah plastik yang semakin banyak. Sehingga masalah sampah dari hulu ke hilir ini dapat ditangani dengan baik. Akan tetapi perlu dicermati pula terkait dengan substansi dari masing-masing aturan tersebut sehingga pelaksanaannya dapat lebih optimal.

Pertama, yang harus disepakati adalah terkait dengan material dari kemasan atau kantong tersebut. Hal ini penting mengingat bahwa saat ini telah tersedia kemasan/kantong plastik ekolabel yang tentu lebih ramah lingkungan (bioplastik) dimana jenis plastik ini akan lebih mudah terdegradasi secara alami. Jenis kemasan ini diproduksi dari jenis bijih plastik berbahan oxodegradable dan biasanya disebut kantong plastik ramah lingkungan. Meskipun plastik jenis ini diwacanakan cukainya lebih murah jika dibandingkan dengan cukai kantong plastik yang berbahan dasar polietilena atau polipropilenalantaran (plastik virgin), namun perlu dilakukan upaya pemerataan produksi dan distribusi plastik ramah lingkungan di Indonesia, mengingat plastik jenis ini produksinya masih terbatas.

Kedua,terkait dengan persepsi dari kemasan plastik tersebut apakah hanya sebatas kantong plastik atau jenis kemasan lain yang berbahan plastik. Jika kita cermati secara sekilas aturan yang ada sebagian besar hanya melarang penggunaan kantong plastik saja? Padahal jika kita telaah lebih lanjut banyak jenis kemasan lain berbahan plastik yang tentu dapat menyebabkan masalah bagi lingkungan. Sebagai contoh larangan penggunaan air minum berbahan plastik sekali pakai, beberapa pihak masih salah persepsi terhadap aturan tersebut sehingga mereka mengganti dengan produk lain dengan salah satunya produk dengan kemasan tetrapack (seperti beberapa jenis minuman dengan kemasan berbentuk kotak) dengan asumsi tetrapack bukanlah botol plastik.

Padahal kemasan tetrapack terdiri dari sekurangnya tiga lapisan yaitu lapisan karton, lapisan polyethylene dan lapisan alumunium. Polyethylene sendiri merupakan termoplastik yang umumnya digunakan sebagai kantong plastik, sehingga sebenarnya menggunakan produk dengan kemasan tetrapack tetap saja menghasilkan sampah plastik.

Pada saat yang bersamaan ini muncul pandemi Covid-19, yang menyebabkan penggunaan masker medis semakin meningkat. Temuan survei BPS pada tanggal 7 September – 14 September 2020 terhadap perilaku masyarakat di masa pandemi untuk tingkat kepatuhan dalam menggunakan masker mencapai 92% (https://covid19.go.id/). Masker medis terbuat dari material spunbond, yaitu  kain sintetis yang terbuat dari bahan polypropylene atau biji plastik dengan serat panjang yang terikat dan tersusun kuat melalui proses kimiawi.

Meskipun terbuat dari biji plastik akan tetapi material spunbond diklaim lebih ramah lingkungan sehingga tidak menyebabkan bahaya bagi lingkungan. Selain itu spunbond mempunyai karakteristik yang ringan serta memiliki daya tahan yang kuat. Meski demikian sebaiknya sampah masker tetap kita tangani sebagai sampah plastik, hal ini tentu untuk melakukan efisiensi proses penanganan sampah. Menurut Journal of Cleaner Production faktor yang paling berpengaruh dalam reduksi/pengurangan sampah plastik adalah faktor perilaku konsumen, sehingga edukasi ini tetap diperlukan untuk semua kalangan dan untuk semua pihak demi bumi pertiwi yang tetap lestari. Jadi, konsepnya tidak hanya mengurangi di hulu saja, tetapi menangani dan mengolah juga harus benar di bagian hilir. Sehingga, diet kantong plastik yang kita lakukanpun akan berjalan optimal, selain mengurangi penggunaan plastik tetapi sampah plastik yang kita hasilkanpun akan dapat lebih mudah penanganannya.

Penggunaan kantong plastik dan masker medis perlu dilakukan dengan bijak, mengingat keduanya dibuat dari material plastik. Terlepas dari masker lebih ramah lingkungan, tentu akan lebih mudah dalam mencegah potensi pencemaran. Lebih-lebih masker medis dapat kita kategorikan sebagai limbah medis yang berpotensi menyebarkan bibit penyakit, sehingga pengelolaanya perlu mendapat perhatian yang khusus. (*)

Skip to content