Pandangan Pakar HTN UNS soal Isu Jabatan Presiden RI Tiga Periode

UNS — Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum (FH) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Sunny Ummul Firdaus, memberikan pandangannya seputar isu perubahan masa jabatan Presiden Republik Indonesia (RI) menjadi tiga periode.

Dalam wawancaranya bersama uns.ac.id, Jumat (19/3/2021), Dr. Sunny Ummul Firdaus, mengatakan perubahan masa jabatan Presiden RI menjadi tiga periode sah-sah saja asal keputusan tersebut didasarkan pada kepentingan rakyat.

“Pelaksanaan mengenai masa jabatan Presiden dalam Pasal 7 UUD NRI 1945 yang berkaitan dengan masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode, sah-sah saja jika membawa dampak yang baik bagi rakyat. Hal ini sebagaimana prinsip ‘salus populi suprema lex esto’,”  ujar Dr. Sunny Ummul Firdaus.

Dr. Sunny Ummul Firdaus yang juga Kepala Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional (Pusdemtanas) LPPM UNS mengingatkan, dalam isu ini kepentingan rakyat merupakan kunci yang harus dikedepankan.

Sebab, jika masa  jabatan Presiden RI diubah, maka diperlukan adanya amandemen UUD 1945 oleh MPR. Dan, MPR sebagai lembaga negara yang mencerminkan kedaulatan (souvereignty) milik rakyat, harus menentukan arah dan tujuannya pada rakyat.

Ia menambahkan, ketika masa jabatan presiden yang lebih panjang daripada sebelumnya dikehendaki oleh rakyat dan membawa kebaikan bagi rakyat, maka perubahan itu memang harus dilakukan.

“Bukan berarti masa jabatan presiden tiga periode ini buruk, bisa jadi ini adalah kebutuhan. Jika memang hal tersebut efektif dan efisien diterapkan dan menjadi sebuah kebutuhan bagi rakyat. Bisa saja hal tersebut terjadi,” imbuhnya.

Selain itu, Dr. Sunny juga menyinggung kaitan antara isu perubahan masa jabatan Presiden RI menjadi tiga periode dengan situasi politik Indonesia. Baginya, isu tersebut merupakan hal yang lumrah jika mencuat ke publik.

“Mengenai ketentuan masa jabatan presiden dan wakil presiden ini merupakan ketentuan yang erat kaitannya dengan ranah politik. Maka, tidak mengapa jika sedikit saja mencuat, pembicaraan ini santer dibicarakan,” lanjutnya.

Lebih lanjut, ia berpendapat saat berasumsi soal isu perubahan masa jabatan Presiden RI menjadi tiga periode, perlu adanya pembatasan secara etis di samping pembatasan secara konstitusional.

Hal tersebut dikarenakan jika amandemen UUD 194 benar-benar dilakukan, maka amandemen pembatasan masa jabatan presiden selama tiga periode ini tentu akan menjadi konstitusional, tetapi secara etik belum tentu hal ini terjadi.

Wacana pemilihan presiden secara tidak langsung

Dr. Sunny juga memberikan pandangannya soal wacana pemilihan presiden secara tidak langsung alias dipilih melalui MPR.

Sebelum isu perubahan masa jabatan Presiden RI menjadi tiga periode mencuat ke publik beberapa hari terakhir, wacana pemilihan presiden secara tidak langsung sudah ramai diperbincangkan usai pertemuan Ketua MPR, Bambang Soesatyo, dengan Ketua Umum PBNU, K.H Said Aqil Siroj tahun 2019 yang lalu.

Dr. Sunny berpendapat pemilihan presiden dan wakil presiden harus dilaksanakan secara demokratis. Alasannya, filosofi dari demokrasi adalah segala kebijakan dan keputusan harus berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

“Di era modern dengan kemudahannya, tentu saja pemilihan presiden secara tidak langsung ini tidak tepat. MPR memang merupakan lembaga kedaulatan rakyat, akan tetapi pemaknaan rakyat dalam hal ini tidak harus dimaknai demikian,” pungkasnya. Humas UNS

Reporter: Yefta Christopherus AS
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content