Pentingnya Penerapan Iptek Keolahragaan dalam Latihan Atlet Elit Disabilitas

Pentingnya Penerapan Iptek Keolahragaan dalam Latihan Atlet Elit Disabilitas

Oleh: Dr. Deddy Whinata Kardiyanto, S.Or., M.Pd (Dosen FKOR UNS) dan Tim

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolaragaan Nasional (UUSKN) Bab XIII pasal 74 telah mengamanatkan bahwa Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) Keolahragaan, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: “(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat melakukan pengembangan Iptek secara berkelanjutan untuk memajukan keolahragaan nasional; (3) Pengembangan Iptek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui penelitian, pengkajian, alih teknologi, sosialisasi, pertemuan ilmiah, dan kerja sama antarlembaga penelitian, baik nasional maupun internasional yang memiliki spesialisasi Iptek keolahragaan; (4) Hasil pengembangan Iptek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disosialisasikan dan diterapkan untuk kemajuan olahraga…”.

Kemudian pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007, tentang Penyelenggaraan Pembinaan Keolahragaan Nasional Bab IX pasal 72 mengenai Iptek Keolahragaan juga dipertegas bahwa “Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab melaksanakan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan secara terencana dan berkelanjutan untuk memajukan keolahragaan nasional.” Pengembangan ilmu pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari kajian ilmiah dan/atau penelitian. Terlebih hingga saat ini dalam konteks pembinaan keolahragaan di Indonesia masih banyak permasalahan-permasalahan yang harus dipecahkan, seperti permasalahan metode pelatihan yang efektif dalam hal baik fisik, teknik, maupun psikologis, permasalahan gizi atau nutrisi atlet, permasalahan tempat dan iklim latihan, dan sebagainya. Salah satu upaya pemecahan permasalahan tersebut dapat dilakukan melalui penelitian. Penelitian merupakan metode pemecahan suatu permasalahan yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Melalui proses penelitian yang intensif dan ketat, terutama yang dilakukan di luar negeri, banyak misteri tentang aspek latihan olahraga dapat terkuak serta hasilnya dapat langsung diterapkan dalam upaya peningkatan prestasi atlet. Oleh karena itu pula, di beberapa negara yang iptek olahraganya sudah maju, selalu terdapat laboratorium yang lazim disebut sport science centers atau institute of sports, yang merupakan pusat untuk menerapkan prinsip-prinsip iptek olahraga kepada para atlet yang sedang dibina, agar prestasinya dapat ditingkatkan secara ilmiah pula. Di Indonesia, persoalan praktik penggabungan hasil perkembangan iptek olahraga dan hasil penelitian para akademisi olahraga pada proses latihan para atlet ini ternyata masih selalu menemui kendala, karena di samping pusat penerapan iptek olahraga tersebut belum tersedia dan belum terintegrasi dalam program pelatihan atlet, juga karena selalu ada kecenderungan resistensi dari para praktisi di lapangan. Para praktisi di lapangan masih sulit menerima jika hasil-hasil penelitian para akademisi untuk diterapkan pada proses latihan secara terpisah, karena sering dianggap mengganggu proses latihan. Sementara mereka sendiri belum begitu terbuka dan memiliki kesadaran untuk menyerap informasi perkembangan iptek olahraga dari jurnal-jurnal ilmiah atau forum ilmiah lainnya, karena terlalu disibukkan dengan tugas-tugas di lapangan.

Pentingnya Penerapan Iptek Keolahragaan dalam Latihan Atlet Elit Disabilitas

Oleh karena itu pula, sebagai upaya optimalisasi hasil penelitian yang telah dilakukan para akademisi dalam dan luar negeri, serta sekaligus mendorong upaya penerapan iptek olahraga dalam proses pembinaan olahraga nasional, maka hasil penelitian yang telah ada tersebut mencoba untuk diaplikasikan ke dalam proses pembinaan prestasi olahraga khususnya pada atlet National Paralympic Committte Indonesia. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang memberi kesempatan kepada para akademisi dan pelatih untuk bersinergi dan bersama-sama melakukan pengabdian dengan mengadopsi pendekatan tindakan (action) secara kolaboratif.

Profil Mitra

National Paralympic Committee (NPC) Indonesia yakni merupakan organisasi bagi atlet penyandang cacat khusus di wilayah Indonesia. NPC turunan dari organisasi internasional yang bernama International Paralympic Committee (IPC) dan saat ini sudah terdapat 4 organisasi tingkat dunia dan spesifik bagi penyandang cacat yaitu: CPISRA (Cerebral Palsy International Sport and Recreation Assosciation); IBSA (International Blind Sport Assosciation); INAS-FID (International Sports Federation for persons with Intellectual Disability); dan IWAS (International Wheelchair and Amputee Sports Federation). Ke empat organisasi tersebut tergabung dalam IPC  yang didirikan pada tanggal 22 September 1989 yang telah beranggotakan lebih dari 160 NPCs (National Paralympic Committees) dari 5 benua, setingkat dengan IOC (International Olympic Committee) bagi olahraga normal. Sebagai organisasi yang bertanggung jawab atas perkembangan dan kemajuan olahraga cacat nasional, NPC memiliki tanggung jawab yang besar. Sebagai badan organisasi seperti organisasi olahraga lainnya, NPC juga melakukan pembinaan orang berkebutuhan khusus atau difabel. Pembinaan olahraga tersebut, adalah sesuai dengan tujuan Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional, yaitu dengan olahraga orang disabilitas dapat berjuang serta mengoptimalkan kemampuannya khususnya dalam olahraga prestasi, dimana dalam tujuan pembinaan olahraga disabilitas dilaksanakan dan diarahkan untuk meningkatkan kesehatan, rasa percaya diri, dan prestasi olahraga. Lebih lanjut ditegaskan dalam Undang-Undang Pasal 30 bahwa pembinaan dan pengembangan olahraga penyandang cacat/disabilitas dilaksanakan oleh organisasi olahraga penyandang cacat (NPC) yang bersangkutan melalui kegiatan penataran dan pelatihan serta kompetisi yang berjenjang dan berkelanjutan pada tingkat daerah, nasional dan internasional.

Pentingnya Penerapan Iptek Keolahragaan dalam Latihan Atlet Elit Disabilitas

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pemerintah, pemerintah daerah atau organisasi olahraga penyandang cacat yang ada dalam masyarakat berkewajiban membentuk sentra pembinaan dan pengembangan olahraga khusus penyandang cacat.

Sementara itu, ruang lingkup pembinaan olahraga penyandang cacat/disabilitas diselenggarakan pada lingkup olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi berdasarkan jenis olahraga khusus bagi penyandang cacat atau disabilitas yang sesuai dengan kondisi kelainan kondisi fisik dan/atau mental seseorang.

Analisis Permasalahan Mitra

Secara tersurat dan tersirat penyandang cacat telah mendapatkan porsi yang cukup memadai untuk menunjukkan eksistensinya baik dari sisi kesehatan, kebugaran maupun produktivitas dan prestasinya. Namun sampai saat ini, perhatian bagi pengembangan olahraga penyandang cacat baik dari sisi yang paling mendasar yaitu kebijakan maupun penerapannya seperti sarana prasarana untuk beraktivitas fisik dengan aksesibilitasnya bagi penyandang cacat pada umumnya hingga pengembangan dan pembinaan bagi atlet penyandang cacat khususnya, perhatiannya masih terabaikan dibandingkan terhadap olahraga normal. Capaian prestasi terbaik seorang atlet dapat dikondisikan sejak awal ia memulai karirnya. Dimulai sejak perekrutan dan pembibitan yang dilaksanakan secara ilmiah, hingga ke tahap peningkatan prestasi, adalah merupakan rangkaian yang tidak terputus dan sangat memerlukan topangan dari berbagai disiplin ilmu. Tanpa mengabaikan elemen gerak dasar (teknik gerak dasar) dari cabang olahraga bola voli duduk, komponen biomotorik adalah juga bagian penting dan integral dalam proses pencapaian prestasi yang optimal seorang atlet. Menurut Brown (2005) “hampir semua cabang olahraga memerlukan pergerakan tubuh dan anggota-anggota yang cepat, karena kecepatan, kelincahan dan kesigapan dapat meningkatkan keakuratan keterampilan gerak yang dilakukan”. Pendapat ini tentu memperkuat bahwa komponen biomotorik diperlukan dalam mencapai prestasi yang tinggi.

Solusi Terhadap Permasalahan Mitra

Berdasarkan kajian terhadap permasalahan yang dihadapi oleh mitra maka melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini dicoba untuk dibuatkan solusi yang disusun bersama-sama antara akademisi selaku tim pengabdian kepada masyarakat dengan mitra yaitu pelatih dan manajemen tim bola voli duduk National Paralympic Committte Indonesia. Fokus kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini dilakukan dalam bentuk pendampingan dengan menerapkan hasil penelitian untuk pemecahan permasalahan yang terkait dengan penerapan ilmu kepelatihan olahraga yang diprioritaskan pada pembenahan kondisi fisik serta bersama-sama meyakini adanya perubahan peningkatan prestasi atlet sebagai hasil tindakan penerapan iptek dalam program latihan pada cabor yang bersangkutan di National Paralympic Indonesia. Selain itu juga terjadinya transfer knowledge atau perubahan perilaku pelatih dalam proses pelatihan.

Target kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah terbentuknya kondisi dan kemampuan biomotorik atlet National Paralympic Committte Indonesia yang optimal guna menghadapi multievent atau single event internasional. Tim yang diketuai oleh Dr. Deddy Whinata Kardiyanto, S.Or., M.Pd. dengan beranggotakan Hendrig Joko Prasetyo, S.Pd., M.Or., Pomo Warih Adi S.Pd., M.Or., Drs. Bambang Wijanarko M.Kes, Waluyo, S.Or., M.Pd., Tri Winarti Rahayu, S.Pd., M.Or. dan Slamet Widodo, S.Pd., M.Or. yang semuanya merupakan dosen Fakultas Keolahragaan (FKOR) UNS

Pentingnya Penerapan Iptek Keolahragaan dalam Latihan Atlet Elit Disabilitas

berharap melalui pendampingan ini diharapkan dapat menghasilkan model pelatihan yang dapat diimplementasikan dalam proses latihan untuk meningkatkan prestasi olahraga unggulan nasional yang berorientasi kepada penerapan iptek keolahragaan.

Pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat dilaksanakan di National Paralympic Comittee Indonesia (NPCI) Pusat di Solo Jawa Tengah  pada bulan Mei 2021. Pada pengabdian kepada masyarakat ini juga terjadinya transfer knowledge tentang bagaimana cara menganalisis faktor dominan biomotorik elit atlet disabilitas menggunakan software SPSS versi 20 dalam proses pelatihan. Prinsip utama pendampingan ini adalah: (1) Pemecahan permasalahan melalui prinsip kolaborasi antara akademisi dan pelatih; dan (2) Kolaborasi adalah kerja sama yang didasari atas kesetaraan peran dan tanggung jawab antara akademisi dengan pelatih.

Berdasarkan hasil pendampingan pelatihan dilakukan untuk mengamati secara langsung latihan yang dilakukan di NPC Indonesia yang meliputi latihan kondisi fisik. Namun selama peneliti melakukan observasi para pengurus dan pelatih hanya focus pada latihan saja dan kurang memperhatikan tentang komponen kondisi fisik dominan untuk meningkatkan prestasi khususnya pada cabang olahraga bola voli duduk. Persentase pemahaman tentang faktor dominan biomotorik atlet disabilitas berdasarkan hasil pendampingan dan pelatihan tentang analisis kemampuan biomotorik sesuai dengan karakteristik atlet difabel pada pengurus dan pelatih berjumlah 20 orang. Dalam kategori sangat bermanfaat hal ini dibuktikan dengan melalui pertanyaan yang disebarkan melalui angket yang terkait pada latihan kondisi fisik yaitu tes jangkauan (cm), modifikasi sit up (kali )modifikasi daya tahan perut (detik), modifikasi push up (kali), dominant hand grasping strength (kg), non-dominant hand grasping strength (kg),  tes sadapan pelat untuk tangan dominan (detik), tes sadapan pelat untuk tangan non-dominan (detik), dan fleksibilitas bahu kanan (cm) fleksibilitas bahu kiri (cm).

Untuk mengetahui pemahaman tentang faktor dominan biomotorik atlet difabel terdiri dari tiga pernyataan yaitu perlunya memodifikasi tes kondisi fisik pada atlet difabel, untuk meningkatkan kualitas kondisi fisik pada atlet difabel perlunya pendampingan dan pelatihan, dan dengan melakukan analisis faktor dominan biomotorik dapat membantu pelatih dan pengurus dalam meningkatkan kondisi fisik sesuai dengan karakteristik atlet.

Pentingnya Penerapan Iptek Keolahragaan dalam Latihan Atlet Elit Disabilitas

Pada dasarnya pengurus dan pelatih, setelah diberikan pelatihan tentang analisis faktor dominan kondisi fisik atlet difabel sangat antusias untuk mengikuti pelatihan tersebut, namun dalam pelatihan ini perlunya dilakukan pendampingan selanjutnya. Hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara dengan beberapa pengurus, pelatih, dan atlet. Sebagian besar mengemukakan bahwa dengan adanya pelatihan ini memberikan dampak yang positif untuk menentukan komponen fisik utama pada atlet difabel sesuai dengan karakteristik atlet difabel. Untuk itu pelatihan sejenis agar dilakukan lebih lanjut, agar kemajuan prestasi atlet khususnya atlet difabel di NPC lebih baik dari yang sekarang untuk menuju prestasi puncak yang mampu bersaing di kancah nasional maupun internasional. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perlunya dilakukan PKM selanjutnya di National Paralympic Committte Indonesia. (***)

Skip to content