Peneliti UNS: Kebijakan Stunting Perlu Perhatikan Karakteristik Daerah

UNS — Sebuah riset kolaborasi internasional bertajuk Multilevel Determinants of Childhood Stunting dilakukan oleh tiga peneliti Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Mereka adalah Tri Mulyaningsih, SE., M.Si., Ph.D dan Dr. Vincent Hadiwiyono dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), serta Vitri Widyaningsih dr., MS., Ph.D dari Fakultas Kedokteran (FK).

Didanai oleh LPPM UNS melalui International Research Collaboration Scheme UNS periode 2020-2021, ketiga peneliti tersebut berkolaborasi dengan Itismita Mohanty, Tesfaye Gebremedhin, dan Riyana Miranti dari University of Canberra.

Melalui sambungan telepon, Tri Mulyaningsih, Ph.D. menuturkan bahwa riset ini berbicara perihal malnutrisi anak dan berfokus pada masalah stunting yang merupakan masalah malnutrisi anak paling berat di Indonesia.

Hal ini juga tidak terlepas dari dampak stunting bagi pertumbuhan anak dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia di masa mendatang. Anak yang mengalami stunting, imbuh Tri, kemampuan kognitif dan intelektualitasnya kurang berkembang.

“Sehingga produktivitas kerjanya pun kurang. Selain itu, anak yang mengalami stunting berisiko penyakit lebih tinggi dibandingkan anak lain. Khususnya penyakit tidak menular seperti diabetes, kolesterol, dan jantung,” ujar Tri kepada uns.ac.id, Selasa (10/11/2020).

Tidak hanya dari sisi kesehatan, riset ini mencoba untuk menganalisis bagaimana efektivitas program-program pemerintah terhadap penanganan stunting, serta bagaimana kebijakan dan kondisi sosial ekonomi mempengaruhi kasus stunting di Indonesia. Termasuk faktor sosial ekonomi keluarga.

Untuk itu, sampel data riset diambil dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) atau data rumah tangga di gelombang 4 (data 2007-2008) dan gelombang 5 (data 2014-2015). Di mana observasi dilakukan terhadap data 8.544 rumah tangga yang terbagi di gelombang 4 sebanyak 4.309 dan 4.235 di gelombang 5.

Saat ditanya perihal hasil riset, Tri menjelaskan, ada banyak level yang mempengaruhi kondisi malnutrisi atau stunting pada anak. Yakni kondisi anak, rumah tangga, sosial ekonomi keluarga dan lingkungan (daerah).

Dari sisi kondisi anak, riset ini mendapat kesimpulan bahwa anak memiliki risiko malnutrisi dan stunting tinggi apabila lahir dengan berat badan rendah, lahir dari ibu dengan malnutrisi buruk, mengalami diare akut, serta sering mengonsumsi camilan tidak sehat.

Diare, tutur Tri, dapat menurunkan pola makan asupan dan menurunkan kemampuan metabolisme tubuh dalam menyerap nutrisi. Sementara snack atau makanan ringan tidak sehat pada umumya mengandung lemak dan kalori, tetapi kandungan protein dan mikronutrisinya rendah.

Lebih lanjut, Tri menerangkan di tataran rumah tangga atau keluarga, anak yang tumbuh dan dibesarkan di keluarga dengan tingkat ekonomi kurang, memiliki risiko malnutrisi lebih tinggi di mana hal ini berkaitan dengan pemenuhan gizi anak.

“Selain itu, ada tingkat pendidikan orang tua yang juga berpengaruh. Dengan pendidikan yang kurang, maka pengetahuan akan kebutuhan gizi anak juga kurang,” tutur Tri.

Kemudian faktor terakhir dan paling ditekankan dalam riset ini ialah pengaruh karakteristik daerah. Seperti bagaimana akses terhadap kebutuhan air bersih atau WASH (Water, Sanitation and Higiene) di suatu daerah yang sangat berpengaruh pada kondisi anak.

Sedangkan, anak-anak yang tinggal di daerah pedesaan memiliki risiko stunting lebih tinggi karena kurangnya akses ke perawatan kesehatan.

“Prevalensi stunting anak berbeda antarprovinsi. Misalkan risiko stunting di Nusa Tenggara Timur (NTT) lebih tinggi dibandingkan pulau Jawa,” tambah Tri.

Melihat beragam faktor tersebut, Tri dan tim pun memberikan beberapa rekomendasi bagi pemerintah dalam penanganan stunting.

Pertama, dalam menyikapi stunting dan membuat kebijakan terkait, pemerintah harus memperhatikan masing-masing karakteristik daerah dan memberikan perhatian lebih bagi daerah dengan prevalensi tinggi.

Kedua, diperlukan kebijakan terkait yang lebih baik dan spesifik, mengarah langsung ke intervensi kebijakan dan harus sensitif seperti memperhatikan masalah akses ke WASH.

Sebenarnya, ia dan tim menilai kebijakan-kebijakan pemerintah di Indonesia berkaitan dengan stunting sudah banyak, komprehensif, dan menjangkau berbagai sektor. Namun, implementasi dari kebijakan tersebut masih terbatas, belum maksimal, dan belum efektif.

“Memang angka stunting menurun, tapi penurunannya lambat. Untuk turun 1% membutuhkan waktu yang lama. Sehingga diperlukan implementasi kebijakan yang lebih maksimal dan efektif,” jelas Tri.

Berbagai hasil riset dan rekomendasi itu pun dituangkan dalam sebuah jurnal, kemudian buku ‘Kajian Stunting pada Anak di Indonesia’, dan juga mendatangkan peneliti mitra melalui diskusi daring. Bahkan Tri dan tim telah hadir di tiga konferensi.

Tahun depan, mereka akan melanjutkan riset tersebut dengan lebih memperhatikan dan menggali dari aspek ‘ayah’ yang tentu memiliki peranan besar dalam tumbuh kenang anak sebagaimana peran ibu.

“Jadi kita perlu memperluas data, bisa dari tahun-tahun sebelumnya,” kata Tri.

Tri menyampaikan harapan agar UNS memiliki pusat penelitian yang mengolaborasikan bidang ekonomi dan kesehatan. Menurutnya, riset ekonomi kesehatan dapat menjawab permasalahan di banyak aspek dan berbagai masalah kesehatan yang berimplikasi ke ekonomi maupun sebaliknya.

“Seperti masalah malnutrisi tidak bisa dipandang dari sudut kesehatan saja, tapi juga sosial ekonomi keluarga. Lalu masalah BPJS yang merupakan isu besar. Diperlukan dari segi ekonomi dan kesehatan. Orang ekonomi kalau ingin menyelesaikan masalah ini harus tahu sistem kesehatan di negara kita,” tutup Tri. Humas UNS

Reporter: Kaffa Hidayati
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content