Tim P2M FT UNS Sosialisasikan K3 kepada Pekerja Industri Gamelan Sukoharjo

UNS – Riset Grup Rekayasa Ergonomi, Sistem Kerja dan Manajemen Lingkungan (RG. RESKML) Program Studi (Prodi) Teknik Industri Fakultas Teknik (FT) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta mensosialisasikan pentingnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) kepada para pekerja industri gamelan Wirun Palu Gongso, Sukoharjo, Senin (30/11/2020).

Tim Penelitan dan Pengabdian kepada Masyarakat (P2M) yang diketuai Prof. Bambang Suhardi, menyadari sejumlah kondisi yang membahayakan para pekerja industri gamelan, seperti paparan kebisingan selama proses penempaan, pemetakan, dan proses finishing dengan gerinda.

Selain itu, RG. RESKML juga mendapati beberapa perilaku tidak aman yang berpotensi menyebabkan kecelakaan kerja. Seperti, pekerja yang tidak menggunakan kaca mata las saat pengelasan dan tidak menggunakan sarung tangan maupun kaca mata safety saat menggerinda.

“Berdasarkan observasi tersebut, tidak menutup kemungkinan bahwa aspek lain juga memiliki potensi bahaya K3 pekerja sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi risiko di industri Gamelan Wirun Palu Gongso,” terang Prof. Bambang Suhardi.

Selama proses observasi di lokasi tersebut, RG. RESKML turut mewawancarai para pekerja tentang keluhan kesehatan, kecelakaan kerja, dan nearmiss yang pernah dialami.

Para pekerja mengatakan merasakan nyeri pinggang dan pundak akibat aktivitas fisik yang berat, iritasi mata karena terkena debu atau asap pembakaran, telinga berdengung, menurunnya kemampuan pendengaran, kulit melepuh terkena percikan api dan hampir terjatuh karena tersandung alat kerja.

“Dari hasil observasi dan wawancara diketahui tindakan preventif oleh pekerja dan pemilik industri Gamelan Wirun Palu Gongso masih kurang tepat. Salah satunya penyediaan APD berupa kapas untuk melindungi telinga pekerja dari kebisingan,” tambah Prof. Bambang Suhardi.

Dalam keterangan resminya, ia mengatakan penggunaan APD yang kurang tepat tentunya tidak cukup memadai untuk melindungi para pekerja dari kebisingan. Disamping itu, para pekerja juga mengaku tidak pernah menggunakan alat tersebut karena merasa kurang nyaman.

RG. RESKML selanjutnya menyimpulkan jika tingkat kebisingan selama proses penempaan sebesar 96 dB. Jenis kebisingan ini termasuk kebisingan kontinu (terus menerus).

Para pekerja selama proses penempaan terpapar kebisingan sebesar 96 dB selama 240 menit. Sedangkan, durasi pajanan dengan intensitas kebisingan sebesar 96 dB menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Menaker) RI No. 51 Tahun 1999 seharusnya selama 40 menit.

RG. RESKML juga menemukan tingkat kebisingan selama proses pemetakan sebesar 93 dB. Jenis kebisingan ini bersifat impulsif berulang. Para pekerja selama proses pemetakan terpapar kebisingan selama 60 menit. Durasi pajanan dengan intensitas ini hanya diijinkan selama 70 menit.

“Durasi pajanan yang diterima pekerja masih di bawah nilai ambang batas. Kalau kondisi ini tidak segera diatasi bisa menyebabkan gangguan kesehatan bagi pekerja, terutama gangguan pendengaran,” ujar Prof. Bambang Suhardi.

Para pekerja selama proses finishing juga terpapar kebisingan sebesar 96,2 dB selama 240 menit. Padahal, durasi pajanan dengan intensitas kebisingan sebesar 96,2 dB yang diijinkan hanya selama 38 menit. Durasi pajanan yang diterima para pekerja juga dinilai Prof. Bambang Suhardi sudah diatas ambang batas.

Dengan hasil temuan ini, RG. RESKML selanjutnya menggelar sosialisasi K3 untuk mengendalikan kebisingan. Sosialisasi yang diberikan berupa bahaya kebisingan dan cara mengendalikan kebisingan. RG. RESKML juga memberikan bantuan APD, berupa earmuff, masker, sarung tangan, sepatu boat, kaca mata safety dan SOP untuk pekerjaan finishing. Humas UNS

Reporter: Yefta Christopherus AS
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content