UU 13/2003 Langgar Prinsip Kerjasama dan Kesantunan

SOLO – Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) melanggar prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan. Selain itu, UU tersebut juga memiliki beberapa kelemahan seperti: terdapat banyaknya pengulangan, banyak kalimat yang taksa (multitafsir), dan kalimat yang terlalu panjang.

“Sebagai contoh saja, di dalam UU tersebut ditulis “pekerja/buruh” secara berulang-ulang. Padahal keduanya memiliki makna yang serupa. Padahal ini sebetulnya bisa dijadikan dalam satu bagian sebagai penjelasan operasional,” kata Joko Purwono, saat dijumpai di Kantor Humas dan Kerjasama Universitas Sebelas Maret (UNS), Selasa (13/11/2012) siang.

Joko menjelaskan, UU 13/2003 tidak mempunyai satu ragam tindak tutur, melainkan semua jenis tindak tutur Kreidler, yaitu asertif, direktif, komisif, verdiktif, performatif, dan fatif. “Namun, tindak tutur ekspresif tidak ditemukan karena suatu undang-undang merupakan suatu keputusan kelembagaan,” ungkapnya.

Dalam disertasinya itu ia menemukan, “Dari 504 data yang terdapat dalam 18 bab, ujarannya didominasi oleh asertif dan performatif dengan implikatur direktif yang terdiri atas: implikatur perintah 78,7 persen, berikutnya implikatur saran 10,9 persen, implikatur larangan 4,3 persen, implikatur rekomendasi 4,1 persen, dan lain-lain 1,3 persen,” urai Joko.

Alasan mengapa dominasi itu terjadi, lanjut Joko, dapat dijelaskan dari makna istilah dan fungsi undang-undang serta dari sudut pandang pragmatik. UU diartikan sebagai pengumuman atau suatu berita yang merupakan tindak tutur asertif. Di sisi lain, UU memiliki fungsi sebagai suatu regulasi dari pihak berwenang untuk ditaati atau paling tidak untuk dipakai sebagai pedoman kerja. Fungsi UU sebagai regulasi ini masuk dalam kategori tindak tutur direktif.

Sedangkan, “Dari sudut pandang pragmatik, untuk membuat pengarahan berupa perintah atau saran, seseorang dapat menggunakan macam-macam metode, seperti menggunakan tindak tutur tidak langsung dengan kalimat deklaratif, sehingga tampak lebih santun,” terangnya.

Ia juga menemukan bahwa semua tuturan UU 13/2003 dirumuskan secara lengkap, kata-katanya tidak disingkat-singkatdan tertata rapi. “Hal ini menunjukkan bahwa tuturan UU 13/2003 merupakan tuturan formal, sesuai dengan buku panduan pembuatan UU yang ada dan sesuai status serta hakikat suatu UU sebagai dokumen resmi negara.”

Kendati demikian, ia juga menemukan setidaknya terdapat 25 tuturan yang melanggar maksim kuantitas seperti: pengulangan yang berlebihan dan kalimat yang berkepanjangan. Selain itu, sekurangnya ada 9 tuturan yang melanggar prinsip kesantunan terutama yang relevan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-1-2/2/2003.

Dari temuannya, Joko menyarankan kepada Pemerintah Pusat agar rumusan UU 13/2003 perlu disederhanakan untuk dirumuskan kembali secara normatif sekaligus aspiratif. “Terutama yang paling disoroti masyarakat ketenagakerjaan, seperti: masalah outsourcing, pemberlakuan upah layak, pelaksanaan jaminan kesehatan, peningkatan anggaran pelatihan untuk calon TKI ke luar negeri, dan sebagainya,” pungkasnya.[]

Skip to content