Sugiyono: Hidup bak Mendaki Gunung

Dr. Sugiyono, M.Hum

“Tekad untuk berkarir dibina seperti mendaki gunung, fisik lelah semangat tetap harus ada.”

Dua puluh enam tahun yang lalu, Sugiyono muda yang gemar mendaki gunung ini telah resmi mendapat gelar sarjana sastra. Perangai yang pemberani ini telah mengenyam pendidikan hingga negeri kincir angin, tepatnya di Universitas Leiden.

Dari dunia bahasa menyelam lebih dalam tentang dunia kebahasaan. Itulah Sugiyono, sosok yang berasal dari keluarga sederhana yang pengen sekolah kala itu. Adalah guru Matematika di sekolahnya yang memberikan pencerahan pada lelaki kelahiran Ngawi, 8 September 1962 ini. “Setelah lulus dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG) tahun 1981, saya bincang-bincang dengan guru matematika saya. Pada akhirnya saya yang tadinya hanya mendapat tawaran sekolah D3, saya minta keringanan satu tahun lagi, hingga saya bisa sekolah S1.”, cerita alumni SPG Negeri Ngawi angkatan 1981 itu.

Berangkat dari Sastra Indonesia bidang linguistik yang terus berkembang menjadi sosiofonologi lantas berkembang menjadi psikoakustik, menjadikan lelaki yang memiliki Nomor Induk Mahasiswa C0000001 ini terus menghargai proses dan kebermanfaatan sebuah ilmu. Dia pernah bercerita bahwa dengan bidang ilmu apapun yang ditekuni dan tahu akan manfaatnya itulah bibit kesuksesan.

Sebelum menjabat sebagai Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa, Badan pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, lelaki yang pernah mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Sentraya Buana ini tetap bergelut di bidang kebahasaan. Mulai dari karyawan Pusat Bahasa (sekarang Badan pengembangan dan Pembinaan Bahasa) pada 1988, dosen luar biasa program studi linguistik UI tahun 1990, dosen luar biasa program studi Jepang UI 1998-2001, dosen luar biasa program doktor UNS tahun 2002, dan sebagai kepala beberapa bidang di Badan pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Meski sosok yang lahir sebagai anak petani ini sudah berkecimpung dalam dunia kerja, ia tak mau ketinggalan dalam berorganisasi. Tetap dalam dunia kebahasaan, kiranya inilah khas seorang Sugiyono, ia pernah menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Pembina Bahasa Indonesia, Ketua I Masyarakat Linguistik Indonesia, Wakil Ketua Mabbim (Majelis Bahasa Brunei Darussalam Indonesia Malaysia) Indonesia, wakil ketua Panitia Kerja Sama Kebahasaan (Pakersa), ketua Komisi Penelitian, Mabbim Indonesia, dan Dewan Penasihat HPBI.

Kesibukan dalam bekerja dan organisasi yang turut mendampingi hari-harinya, tidak menyulutkan lelaki tamatan SD Negeri Kedunggalar, Ngawi ini untuk terus menulis dan mengikuti segudang kegiatan akademik. Kegiatan akademik yang terakhir tercatat yakni dalam Kongres Bahasa Indonesia VIII di Jakarta tanggal 14 – 17 Oktober 2003 lalu dengan tema “Mengaji Aspek Prosidik Bahasa Indonesia” dalam tulisannya.

Di masa kuliah dulu, lelaki yang selalu memotivasi mahasiswanya untuk berani mengambil resiko ini merasa sama dengan teman-teman mahasiswa yang lain. Hanya satu yang membuat Sugiyono muda berbeda dengan temannya, “Apa yang saya dapat di perguruan tinggi belum cukup dibawa masuk dunia kerja. Pernah suatu waktu melalui penataran perpustakaan UNS selama satu minggu, hanya satu minggu, saya merasa lebih dari yang lain. Saya dapat sesuatu dari situ.”Akunya. Menurutnya setelah memasuki dunia kerja harus penuh dengan keseriusan, bahwa apa yang diberikan perguruan tinggi belum mampu untuk dibawa berperang di dunia kerja.

Perjalanan karir Sugiyono dari sekolah SPG hingga meraih gelar Doktor laiknya mendaki gunung seperti hobinya dahulu. Terus naik sampai puncak. Setelah berkecimpung dalam dunia kerjanya sekarang, ia pun bervisi untuk berbuat sebaik-baiknya melalui bidangnya untuk masyarakat. Dalam menempuh jalan menuju kesuksesan, tak ada yang instan begitu saja, seperti ungkap lelaki yang mendapat dukungan penuh dari keluarganya untuk terus menuntut ilmu ini “Orang tua begitu mendukung saya ingin sekolah seperti apa, orang tua bilang pokoknya kamu kuat untuk sekolah, sekolah lah ke mana saja. Makanya dulu saya tetap ingin terus sekolah dan itu tidak mudah. Itu juga menjadi alasan mengapa saya pilih UNS, selain dekat juga sekolah negeri yang murah.”[Esti]

Skip to content