Mahasiswa UNS-BKSAP DPR RI Gelar Diskusi Bahas Sejumlah Isu Politik Internasional

Mahasiswa UNS-BKSAP DPR RI Gelar Diskusi Bahas Sejumlah Isu Politik Internasional
Mahasiswa UNS-BKSAP DPR RI Gelar Diskusi Bahas Sejumlah Isu Politik Internasional

UNS — Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta dan Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI duduk bersama dan membahas sejumlah isu politik internasional terkini, Kamis (8/4/2021), bertempat di UNS Inn.

Diskusi tersebut digelar dalam rangka BKSAP Day berupa Sosialisasi Diplomasi Parlemen yang turut dihadiri oleh Rektor UNS, Prof. Jamal Wiwoho, Wakil Ketua MWA UNS, Prof. Hasan Fauzi, Ketua Senat Akademik UNS, Prof. Adi Sulistyono, dan jajaran pimpinan dan organ UNS lainnya.

Sedangkan, dari BKSAP DPR dihadiri oleh Fadli Zon (Ketua BKSAP DPR), Mardani Ali Sera (Wakil Ketua BKSAP DPR), Hafisz Tohir (Wakil Ketua BKSAP DPR), Mulan Jameela (Anggota BKSAP DPR), Arzeti Bilbina (Anggota BKSAP DPR), dan Hasani Bin Zuber (Anggota BKSAP DPR).

Isu-isu yang dibahas meliputi peran BKSAP DPR dalam menyikapi kudeta militer yang terjadi di Myanmar, kendala pembelian alutsista oleh Indonesia ke Rusia dan Amerika Serikat (AS), dan konflik di Laut China Selatan.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua BKSAP DPR RI, Fadli Zon, pertama-tama menyoroti soal kekacauan situasi politik di Myanmar pascakudeta yang dilakukan militer yang tidak terima atas kemenangan Partai Liga Demokrasi yang dipimpin Aung San Suu Kyi.

Di hadapan mahasiswa UNS yang hadir, Fadli Zon mengutuk kudeta yang terjadi dan mengecam kesewenang-wenangan militer Myanmar yang menangkap Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, sejumlah pejabat negara, dan tokoh politik lainnya.

“Yang pertama merespon tentu BKSAP dan kami mengeluarkan pernyataan sikap dari parlemen Indonesia. Melalui BKSAP, kami mengecam kudeta yang dilakukan oleh militer Myanmar yang melukai dan menodai demokrasi,” ujar Fadli Zon.

Ia menyampaikan BKSAP DPR RI telah meminta organisasi parlemen se-Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) untuk segera membekukan parlemen Myanmar.

Selain itu, Fadli Zon juga mengatakan BKSAP DPR RI akan segera mengeluarkan resolusi untuk menyikapi kudeta militer di Myanmar atas nama parlemen Indonesia dalam pertemuan daring Inter-Parliamentary Union.

Melihat kekacauan situasi politik di Negeri Seribu Pagoda, Fadli Zon meminta Myanmar untuk belajar dari Indonesia saat berusaha menghapuskan dwifungsi ABRI pascareformasi dari sistem parlemen.

Hal tersebut dikarenakan selama berada dalam rezim Orde Baru, Presiden Soeharto membuat kedudukan militer sangat kuat dan memberikan kesempatan yang amat luas bagi militer untuk menduduki sejumlah jabatan sipil di pemerintahan yang pada akhirnya terjadi sejumlah penyelewengan.

Fadli Zon menilai penghapusan dwifungsi ABRI dalam sistem parlemen Indonesia berjalan mulus dan tidak menimbulkan gejolak politik seperti yang terjadi di Thailand dan Myanmar baru-baru ini.

“Transisi berjalan damai dan smooth Indonesia. Tapi, di militer Myanmar ini tidak terjadi karena mereka takut sekali kehilangan peran ketika partai sipil memenangkan pemilihan umum,” imbuhnya.

Dalam kesempatan tersebut, Fadli Zon juga menjawab pertanyaan dari mahasiswa UNS seputar kendala Indonesia dalam pembelian alutsista ke Rusia dan AS.

Ia mengatakan selama AS di bawah pemerintahan Donald Trump, Indonesia dibayang-bayangi sanksi atas dikeluarkannya Undang-Undang Countering America’s Adversaries Through Sanctions (CAATSA).

Dalam UU tersebut, AS mengancam akan memberikan sanksi pelarangan transaksi finansial, pemberhentian bantuan keuangan, hingga pencekalan visa bagi individu, pada negara-negara yang nekat membeli alutsista buatan Rusia.

Indonesia melalui Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dipaksa berpikir ulang untuk menindaklanjuti rencana pembelian pesawat tempur milik Rusia, Sukhoi Su-35.

Walau UU tersebut jelas-jelas menekan Indonesia, Fadli Zon mengatakan pemerintah harus memanfaatkkan bargaining position dan tetap mengutamakan sifat politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.

“Jadi, kita seharusnya kalau kata Bung Hatta yang meletakkan dasar bagi politik luar negeri kita dalam pidatonya dia mengatakan sekali mendayung di antara dua karang karena dulu Indonesia berada di tengah-tengah kubu barat dan timur,” lanjut Fadli Zon.

Bargaining position dan sifat politik luar negeri yang bebas dan aktif juga dinilai Fadli Zon sebagai cara yang mampu memberikan manfaat dalam menghadapi konflik yang dialami antara negara-negara ASEAN dengan Tiongkok di Laut China Selatan. Humas UNS

Reporter: Yefta Christopherus AS
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content