Perjalanan Karisma Evi Tiarani dalam Paralimpiade Tokyo 2020

Perjalanan Karisma Evi Tiarani dalam Paralimpiade Tokyo 2020

UNS — Gelaran Paralimpiade Tokyo 2020 telah usah. Namun, jejak prestasi dari para atlet yang berlaga akan terus terukir bagi bangsa Indonesia. Salah satunya capaian dari Karisma Evi Tiarani, mahasiswa Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta yang berhasil tampil apik dalam event olahraga disabilitas terbesar tersebut.

Karisma Evi Tiarani atau yang kerap disapa Evi mampu membuktikan bahwa keterbatasan pada kaki kirinya bukan penghalang untuk mengharumkan nama Indonesia. Ia terjun pada cabang atletik 100 meter T42.  Dalam kesempatan ini, uns.ac.id berbincang dengan Evi mengenai perjalanannya dalam Paralimpiade Tokyo 2020.

Kesan Lolos Kualifikasi Paralimpiade Tokyo 2020
Atlet asal Boyolali ini tidak pernah menyangka bahwa Ia dapat menapaki karier hingga Paralimpiade. Baginya, event ini merupakan salah satu tujuan utama bagi para atlet.

“Kesan seneng banget karena paralimpiade ini salah satu tujuan utama, event tertingginya atlet. Pokoknya ga nyangka dan ga pernah membayangkan  sebelumnya kalau aku bisa berdiri di event olahraga disabilitas (Paralimpiade) terbesar ini,” tuturnya.

Tampil Apik di Babak Heat dan Final
Dalam tahap penyisihan atau heat pada Sabtu pagi (4/9/2021), Ia menorehkan catatan waktu 14,83 detik. Evi mampu finish di urutan kedua sehingga lolos menuju laga puncak. Dalam cabang atletik, hanya tiga terbaik setiap heat saja yang berhak melaju ke final.

Meskipun belum meraih medali karena harus mengakui keunggulan trio sprinter asal Italia, Evi berhasil memecahkan rekor Paralimpiade di kelasnya. Selain itu, Evi juga menjadi satu-satunya atlet dari kelas T42 yang berhasil melaju ke final.

Pada partai final, Evi mencatatkan waktu yang sama seperti babak heat, yaitu 14,83 detik dan finis di urutan keempat. Medali emas disabet oleh Ambra Sabatini yang sekaligus memecahkan rekor dunia 100 meter T63 dengan waktu 14,11 detik. Medali perak diraih Martina Caironi dengan 14,46 detik, dan medali perunggu diamankan oleh Monica Graziana Contrafatto dengan 14,73 detik.

“Perasaan bisa mecahin rekor Paralimpiade jelas seneng, tapi aku masih kurang puas karena belum bisa mecahin personal best aku di Dubai. Kalau di atletik, waktu 1 detik itu selisihnya bisa beberapa meter,” kata Evi.

Terjatuh saat Finis di Partai Final
Hujan mengguyur Tokyo beberapa hari sebelum final berlangsung. Bahkan, saat final pun para atlet harus tetap bertanding ditemani rintik hujan di National Stadium, Tokyo. Evi mengaku bahwa hujan ini berdampak pada licinnya track pertandingan.

“Sebenarnya dari pas heat pagi atau pertama, udah ngerasa licin banget karena habis hujan (malamnya), jadi aku usahain jangan sampai jatuh. Terus aku bilang ke pelatih kalau licin banget. Pas final, beberapa meter sebelum finis udah mau jatuh, tapi aku pertahanin jangan sampai jatuh sebelum finis. Nanti catatan waktunya jelek, pas sampai finis udah ga kuat banget (nahan), akhirnya jatuh karena licin,” ungkap atlet asal Boyolali tersebut.

Kelas T42 dan T63 Digabung
Evi merupakan salah satu dari dua atlet kelas T42 yang lolos kualifikasi dalam gelaran Paralimpiade Tokyo ini. Dalam ajang olahraga disabilitas terbesar ini, setiap atlet akan diklasifikasikan sesuai disabilitas masing-masing. 

“Jadi, kelas T42 cuma ada dua atlet yang lolos kualifikasi, aku sama yang dari Brazil (Ana Claudia Maria da Silva). Jadi kan kekurangan peserta, makanya digabung sama T63 yang amputee di atas lutut,” terangnya.

Atlet yang diklasifikasikan ke dalam kategori T42 merupakan atlet yang lemah pada salah satu kaki di atas lutut. Semakin banyak angka, semakin rendah tingkat disabilitasnya.

“Jadi, kita digabung. Meskipun sebenernya kena T42 lebih berat karena kita ga pakai alat bantu (kaki palsu),” tambahnya.

Sempat Dipindah ke T44
Atlet asal Boyolali ini sempat terkena protes oleh salah seorang classify player. Ia hendak dipindahkan ke kategori T44 yang seharusnya bukan kelas Evi.

“Jadi, aku udah diklasifikasi pas di Dubai. Terus pas di Tunisia juga udah di-confirm kalau aku masuknya T42, jadi ga bisa berubah lagi. Pas udah ikut tanding, ternyata diprotes. Mungkin karena aku meragukan, kok T42 bisa masuk limit segini, catatan waktunya segini. Akhirnya pas mau ke Tokyo, aku diklasifikasikan lagi dan tetep masuk T42,” ungkapnya.

Apabila Evi dipindahkan ke kelas T44 yang disabilitasnya lebih ringan, tentu akan berdampak pada performanya di lapangan. Evi harus berjuang lebih keras dibanding atlet-atlet yang memang masuk T44. Sama halnya saat Paralimpiade berlangsung, Ia menjadi satu-satunya pelari kelas T42 yang melaju ke final bersama 7 pelari lain dari kelas T63.

Perjalanan Karisma Evi Tiarani dalam Paralimpiade Tokyo 2020

Rival Terberat
Peraih gelar Juara Dunia Paraatletik 2019 ini mengakui kehebatan tiga pelari asal Italia yang berhasil memborong medali dalam Paralimpiade.

“Lawan terberat saat ini Italia. Pernah sekali ketemu sama yang dapat perunggu (Paralimpiade). Kalau yang dapat emas sama perak belum pernah ketemu sama sekali,” kata Evi.

Atletik merupakan cabang olahraga terukur sehingga dapat diketahui catatan waktu setiap atlet.

“Jadi, sama pelatih aku ditargetin masuk final dulu. Terus pas udah masuk final, kalau bisa dapat medali,” ungkap Evi.

Harapan
Atlet berusia 20 tahun ini berharap dapat terus bertanding mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Selain itu, Ia juga berharap dalam paralimpiade Paris tiga tahun mendatang dapat tampil maksimal dan mendapat medali.

Perjalanan Karisma Evi Tiarani dalam Paralimpiade Tokyo 2020

Terima kasih telah berjuang mengharumkan nama Indonesia dalam Paralimpiade Tokyo 2020. Perjuangan atlet asal Boyolali ini memang sangat luar biasa. Semoga, semangat Evi ini dapat memotivasi kita semua untuk terus berprestasi. Humas UNS

Reporter: Bayu Aji Prasetya
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content