Sang Wanita Bunga Teratai

Saya wanita, jadi pakai simbol bunga, bunganya pun istimewa, teratai putih terbuka. Teratai bagi saya, simbol kehidupan yang penuh makna, dapat tumbuh di air jernih bertabur mutiara atau tempat penuh lumpur yang tak biasa tapi keberadaannya selalu terjaga gairah hidupnya sungguh luar biasa tuk memancarkan semangat kepada sekelilingnya. (Kisyani Laksono)

Adalah Kisyani, biasa disapa dengan Yani atau lebih popular Bu Kis, lahir di Solo, 25 Oktober 1962. Hidup dengan sederhana bersama sang ayah, Soekisman dan sang ibu, Harini. Wanita penggemar warna hijau ini dikenal saudaranya sebagai anak yang banyak memiliki keterampilan dan mandiri. Mulai dari menjahit, menyulam, memasak, dan menyetir kendaraan dapat dilakoninya. Ya, seolah Kisyani kecil sudah menjadi bunga yang mekar.

Melalui kehidupan yang sudah dibiasakan dengan pekerjaan rumah, ibu dua anak ini tumbuh menjadi wanita penuh semangat juang. Dulu, Kisyani kecil mendapat tugas dari sang ibu untuk memberi makan ayam, kebetulan keluarganya mempunyai ternak ayam petelur.

Ayahnya sekarang pensiunan tenaga kesehatan di Departemen Pertahanan dan Keamanan (dulunya bekerjadi Djawatan Kesehatan Rakyatatau DKR) dan Ibunya pensiunan guru SMP. Saat ini keduanya banyak menghabiskan waktu di jalan. Panembahan 12, Penumping, Solo (dahulu Jalan Duku No. 88).

Ketika mulai bersekolah di SMPN I Surakarta, Yani dihadiahi ayahnya sebuah sepeda. Meski bekas, jelek, dan tua, ia tetap semangat mengayuh sepeda yang mendapat julukan “sepeda lapis emas” karena penuh karat, untuk pulang pergi sekolah. Sampai-sampai terkadang saudaranya malu bila harus pergi ke sekolah bersamanya dengan sepeda bututnya, namun siswa yang dulu aktif di OSIS ini tetap percaya diri dan merawat sepeda sepenuh hati.

Setelah lulus SMA, wanita yang pernah beberapa kali menjuarai kejuaraan merangkai bunga ini ingin menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran karena dia ingin memenuhi harapan ayahnya agar salah satu anaknya ada yang menjadi dokter sehingga bisa meneruskan tugas mulia yang diemban sang ayah saat itu. Kala itu sang ayah bekerja di Djawatan Kesehatan Rakyat (DKR) Solo.

Formulir pun ia beli untuk Perintis I di UGM dengan pilihan Fakultas Kedokteran. Satu formulir lagi dibelinya untuk perintis III dengan pilihan Fakultas Kedokteran UNS. Menjelang penutupan, karena dana masih mencukupi, penyuka bunga ini pun mengisi dia formulir perintis III Bahasa Indonesia. Impiannya untuk menjadi Dokter pun pupus lantaran ia diterima di jurusan Bahasa Indonesia.

Awal kuliah di Jurusan Bahasa Indonesia, dia merasakannya hal baru dan jauh dari pikirannya hingga dia merasa kurang nyaman belajar. Ternyata, Tuhan memang sudah menyiapkan rencana manis lain. Di kelas itu, ibu yang sering mendongengkan dua dongeng dalam bahasa Jawa kepada anak-anaknya dipertemukan dengan seorang mahasiswa, Tri Budi Laksono, yang kemudian menjadi suaminya.

Pada tahun 1985 ibu yang sering mendendangkan lagu “Lelo Lelo Ledung” ini, berhasil meraih sarjana Bahasa Indonesia, dengan IPK tertinggi untuk fakultasnya dan termasuk lulusan paling awal di antara teman-teman satu angkatannya. Pasca itu berbagai tempat mulai dikiriminya lamaran dengan lampiran berbagai prestasi yang pernah diraihnya, termasuk ke IKIP Surabaya (sekarang Universitas Negeri Surabaya atau Unesa) sehingga akhirnya dia diundang oleh Dekan FBS IKIP Surabaya saat itu, Drs. Mas Haryadi, dan menjadi tenaga pengajar mulai tahun akademik 1985/1986 semester gasal sebagai asisten Drs. Achmad Hatib. Pengangkatan PNS-nya mulai Januari 1986.

Ibu dari Raras Tyasnurita dan Arya Anuraga ini pun, tumbuh menjadi wanita yang memiliki cita-cita tinggi. Dengan pesan yang tertanam dari sang ibu untuk selalu meneruskan ilmu itulah akhirnya Yani memutuskan untuk menjadi dosen. Berawal dari sini, iasadar akan kebutuhan untuk selalu berkembang. Oleh karenanya, dengan restu dan dukungan dari suami tercinta, Yani melanjutkan pendidikan S-2 di UGM tahun 1993— 1995 (cum laude). Meski bolak-balik Surabaya-Jogjakarta.

Keinginan penyunting Majalah “Ajasai” (be a cross-culturalis:Indonesia-Jepang) untuk melihat belahan bumi lain terpenuhi ketika ia mendapatkan beasiswa DAAD untuk menulis proposal disertasi di Jerman di bawah bimbingan Prof. Dr. Bernd Nothofer dan Dr. Inyo Yos Fernandez. Tidak hanya menulis, tetapi Yani juga diberi kepercayaan untuk mengajarkan bahasa Jawa kepada enam mahasiswa di Südostasien wissenschaften, Johann Wolfgang Goethe-Universität, Frankfurt am Main, Germany pada semester gasal 1996/1997.[]

Skip to content