Wakili Asia Tenggara di Amerika, Mahasiswi UNS Ini Ajak Pemuda Lawan Perdagangan Manusia

UNS – Tak pernah terbayangkan bagi Alifa Salsabila, Mahasiswa Fakultas Hukum (2014) bahwa ia akan menginjakkan kaki ke Amerika Serikat dan menjadi satu-satunya mahasiswa Indonesia yang menjadi perwakilan Asia Tenggara bersama satu peserta lainnya, Nur Alia Abdul Bari dari Brunei Darussalam dalam Pertemuan Tingkat Tinggi (PTT) Student Opposing Slavery (SOS) Summit 2018 di Washington DC, Amerika Serikat (25-29/7/2018). Alifa terpilih dari 31 peserta dari Asia tenggara lainnya yang mana sembilan dari mereka adalah mahasiswa asal Indonesia. Dalam kegiatan ini puluhan remaja berkumpul untuk mendapat pelatihan mengenai bahaya perbudakan dan perdagangan manusia di era modern.

Pertemuan ini merupakan pertemuan tahunan yang diadakan di President Lincoln’s Cottage, Washington DC sejak tahun 2012. Adanya Pertemuan Tingkat Tinggi (PTT) terwujud atas kerjasama antara berbagai pihak yakni United States Agency for International Development (USAID) dan International Organization of Migration (IOM) yang merupakan organisasi di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Melalui kantornya yakni, IOMX di Bangkok, Thailand. IOMX melakukan seleksi dua peserta dari Asia tenggara untuk menjadi perwakilan di ajang Student Opposing Slavery Summit 2018.

Alifa berhasil lolos mewakili Asia Tenggara diantara sembilan pemuda dari institusi dan universitas ternama di Indonesia, yaitu dua mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada (UGM), satu mahasiswa dari Universitas Parahyangan (UNPAR), satu mahasiswa dari Universitas Udayana (UNUD) dan peserta dari institusi lainnya di Indonesia. Sebelum dinyatakan lolos Alifa, dan peserta lain diharuskan untuk membuat video berdurasi tiga puluh detik yang menceritakan tentang peran dan kepedulian pemuda akan isu perbudakan dan perdagangan manusia di era modern dan mengunggahnya ke akun instagram mereka.

“Memang agak susah sih membuat video dengan konten yang spesifik sekali namun hanya dalam waktu tiga puluh detik. Mengapa saya yang dipilih mungkin karena video yang saya unggah berisi tentang pengalaman saya secara langsung dan ikut berkontribusi dalam bidang ini, seperti program magang saya di BAPPENAS dalam program advokasi mereka mengenai perdagangan manusia di Indonesia,” ucap Alifa.

Gadis berdarah Sunda dan Jawa ini bersyukur mendapatkan pengalaman yang sangat berkesan dimana kurang lebih selama sepuluh hari berada di Amerika Serikat. Ia bersama 23 peserta dari berbagai institusi dan negara lain mendapat kesempatan bertemu serta menerima materi penuh dari para tokoh-tokoh pejuang penghapus perbudakan dan perdagangan manusia di President Lincoln’s Cottage yang merupakan rumah musim panas Presiden Abraham Lincoln pada saat berjuang dalam perang sipil melawan legalisasi perbudakan di Amerika Serikat. Pengalaman bertemu secara langsung dengan para korban juga ia rasakan, ia dapat secara langsung mendengar kisah dan pengalaman para korban dari Child Labour Survivor asal Kamerun yang mendapat penghargaan dari Pemerintah Amerika Serikat dan diberdayakan di Gedung Putih.

“Saya sangat bersyukur bisa bertemu dengan banyak kenalan baru dari berbagai negara dan institusi lain. Saya juga tidak menyangka bahwa ternyata kegiatannya juga dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri Amerika Serikat, Mike Pompeo dan juga putri Presiden Donald Trump, Ivanka Trump sebagai pimpinan upacara dan protokoler kegiatan tahunan AS yaitu Trafficking in Person (TIP) tahun 2018,” ungkap Alifa.

Dara 21 tahun yang meyukai bahasa Inggris sejak kecil ini menekankan pentingnya kontribusi pemuda terutama mahasiswa sebagai kaum yang terdidik untuk senantiasa melawan praktik perbudakan dan perdagangan manusia. Rasa prihatinnya terhadap para korban menggugah hatinya untuk mengajak para pemuda agar lebih peduli terhadap masyarakat di sekitarnya dan tidak menjadi golongan yang apatis.

“Dunia sekarang ini orang makin pragmatis dan juga profit oriented sehingga orang hanya memikirkan sesuatu dari segi materi tanpa nilai dasar kemanusiaan. Jadi, sebagai mahasiswa yang notabene orang terdidik kita harus peduli dengan orang lain, dan berjuang untuk mengakhiri kejahatan ini mulai dari hal-hal terkecil yang bisa kita lakukan,” ungkapnya.

Sebagai generasi milenial, Alifa juga berpesan agar para pemuda khususnya mahasiswa bisa memanfatkan sosial media dengan benar. Baginya teknologi yang semakin modern harusnya dimanfaatkan untuk berkarya dan bermanfaat untuk orang lain.

“Teknologi benar-benar menjadi kunci dimana saya menemukan informasi soal SOS Summit ini, jadi kalau kita sebagai milenial sudah punya wadah untuk berkarya dan bermanfaat buat orang lain, sudah seharusnya kita manfaatkan dengan baik,” tutup Alifa.

Di akhir kegiatan SOS Summit, Alifa dan para peserta lain menerima penghargaan dari pihak President Lincoln’s Cottage, atas bentuk apresiasi sebagai penerus Abraham Lincoln dalam melawan perbudakan dan perdagangan manusia di komunitasnya masing-masing. humas-red.uns/Ysp/Isn

Skip to content