Search
Close this search box.

Aksi Mbak Rara Viral di MotoGP Mandalika, ini Tanggapan Budayawan UNS

UNS — Nama Rara Istiati Wulandari masih menjadi buah bibir warganet usai foto dan video yang menunjukkan dirinya tengah “menghentikan” hujan saat gelaran MotoGP di Pertamina Mandalika International Street Circuit, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Minggu (20/3/2022), viral di media sosial.

Itu bermula ketika stasiun TV lokal menayangkan aksi Mbak Rara -sapaan akrabnya- tengah berjalan di depan paddock para pembalap MotoGP dengan membawa singing bowl sembari mulutnya komat-kamit mengucapkan mantra.

Warganet yang sibuk membagikan ulang dan mengomentari foto dan video Mbak Rara yang tengah menjalankan tugasnya sebagai pawang hujan lantas terbagi menjadi dua kubu.

Ada yang mencibir bahkan melontarkan kecaman mengapa di Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam masih menggunakan jasa pawang hujan dan mengindahkan kaidah keilmuan.

Tapi, ada juga warganet yang menganggap keberadaan Mbak Rara di tengah ramainya penyelenggaraan MotoGP Indonesia sebagai bagian dari budaya. Lalu, manakah pendapat yang bisa diterima?

Terlepas dari bisa benar atau tidaknya memakai jasa pawang hujan, budayawan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof. Andrik Purwasito, mengatakan, itu merupakan bagian dari kepercayaan.

Artinya, memang ada orang-orang tertentu yang mempercayai bahwa alam dan cuaca bisa dikendalikan dengan mengirimkan permohonan khusus kepada “yang berkuasa”.

“Itu merupakan tradisi kita. Dulu di luar negeri juga ada yang namanya Shaman,” kata Prof. Andrik dalam wawancaranya bersama Bravo Radio Indonesia baru-baru ini.

Penggunaan pawang hujan sebenarnya juga lazim di beberapa negara, seperti Thailand maupun Jepang, yang beberapa kelompok masyarakat masih memegang teguh tradisi kuno

Bahkan, jenama fesyen sekelas Louis Vuitton (LV), rumah mode kenamaan asal Prancis yang menjadi langganan para pesohor dunia pun pernah menyewa pawang hujan asal Brasil agar peragaan busananya di Rio de Janeiro, Brasil dan Kyoto, Jepang bebas dari ancaman hujan.

Sementara itu, berkaitan dengan penggunaan pawang hujan di Sirkuit Mandalika, Prof. Andrik menyampaikan itu merupakan ikhtiar dari seorang manusia agar suatu kegiatan dapat berjalan dengan lancar.

Ia juga menyebut, pawang hujan adalah salah satu cara agar hujan bisa dihentikan, dialihkan, atau dipanggil selain keterlibatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), TNI, dan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) yang telah melakukan modifikasi cuaca di NTB.

Kepercayaan Tradisional Soal “Penguasa” Alam

Prof. Andrik menjelaskan, dalam kepercayaan masyarakat Jawa pada zaman dahulu memang mengenal adanya “penguasa” yang bisa mengendalikan alam.

Dengan melakukan ritual-ritual tertentu atau bisa dikatakan sebagai mengirimkan permohonan atau meminta restu, penguasa alam bisa menghentikan hujan, membasmi hama, dan membuat panen menjadi lancar.

Terkhusus untuk kepercayaan menghentikan atau mengalihkan hujan, Prof. Andrik menerangkan hal ini bisa dilakukan dengan memakai sapu gerang, lombok, bawang merah, termasuk celana dalam. Ia semasa kecil juga pernah diminta oleh neneknya untuk tradisi mengusir hujan demi membantu masa panen keluarganya di Trenggalek.

“Pawang hujan yang spesialis menghentikan (red: hujan) bisa dilakukan di berbagai tingkat, mulai dari dukun atau orang biasa. Profesi itu (red: pawang hujan) tergantung yang memesan saja,” kata Prof. Andrik.

Ia mengatakan bahwa mengenai berhasil atau tidaknya hujan dihentikan dengan menggunakan pawang hujan tidak bisa dipastikan seratus persen.

“Apakah ada yang beneran efektif atau dapat dipertanggungjawabkan, ‘kan namanya juga ‘permohonan’ artinya tidak semua bisa dipenuhi,” pungkasnya. Humas UNS

Reporter: Y.C.A Sanjaya
Editor: Dwi Hastuti

Scroll to Top
Skip to content