Analis Politik Internasional UNS Sesalkan Operasi Militer Rusia ke Ukraina

Analis Politik Internasional UNS Sesalkan Operasi Militer Rusia ke Ukraina

UNS — Presiden Rusia Vladimir Putin telah memerintahkan dimulainya operasi militer ke Ukraina pada Kamis (24/2/2022) kemarin. Keputusan itu diambil Putin usai mendapat izin dari Majelis Tinggi Parlemen Rusia untuk mengerahkan pasukan militer ke negara pecahan Uni Soviet tersebut.

Dalam pantauan uns.ac.id dilansir dari NBC News, sirine telah menyeruak di berbagai penjuru Ibu Kota Kiev sejak Kamis pukul 08.00 WIB dan beberapa misil yang telah ditembakkan militer Rusia sudah memasuki wilayah udara Ukraina.

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden langsung mengadakan pembicaraan dengan negara-negara anggota G7 dan segera menetapkan sanksi terbaru bagi Rusia sebagai konsekuensi dari serangan terhadap Ukraina.

Serangan Rusia ke Ukraina juga mendapat respons keras dari sejumlah pihak, termasuk dari analis politik internasional Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Ign. Agung Satyawan, Ph.D.

Dalam wawancaranya bersama uns.ac.id pada Kamis (24/2/2022), Agung Satyawan, Ph.D menyesalkan tindakan militer Rusia terhadap Ukraina. Ia mengatakan, serangan Negara Beruang Merah ke Ukraina merupakan gagalnya dialog perdamaian.

“Sangat disesalkan, meskipun tanda-tanda penambahan pasukan Rusia yang siap tempur di perbatasan Ukraina sudah lama dilaporkan oleh pihak intelijen Barat. Pihak Rusia menyebut ‘operasi militer khusus’, tindakan militer Rusia ini sudah pasti memakan korban dan kerusakan fasilitas publik,” ujarnya.

Agung Satyawan, Ph.D. menyampaikan bahwa serangan Rusia ke Ukraina dilancarkan sebab negara tersebut merasa “terusik” dengan banyaknya bekas anggota Pakta Warsawa yang bergabung dengan North Atlantic Treaty Organization (NATO) dan Uni Eropa.

Hal tersebut membuat Rusia berupaya keras untuk mempertahankan negara-negara pecahan Uni Soviet untuk tetap pro kepadanya. Namun, Ukraina sebagai salah satu negara pecahan Uni Soviet justru pro Barat, bahkan sempat berkeinginan masuk NATO.

Sayangnya, rencana bergabungnya Ukraina ke dalam NATO urung dilakukan sebab sejumlah persyaratan yang sulit dipenuhi. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan, syarat bergabung dengan NATO harus mendapat referendum dari seluruh rakyat Ukraina dan persetujuan dari anggota NATO.

Walau negara tetangga Rusia tersebut tidak jadi bergabung dengan NATO, Putin tetap ngotot melancarkaan operasi militer bahkan meminta militer Ukraina untuk tidak melakukan perlawanan agar dapat pulang ke rumah bersama keluarganya.

Eskalasi Rusia-Ukraina

Serangan Rusia ke Ukraina merupakan babak baru dari memanasnya hubungan kedua negara usai Negara Beruang Merah mencaplok Crimea pada tahun 2014 yang lalu.

Perlu diketahui bahwa sebelum Rusia melakukan serangan, dua wilayah di Ukraina, yaitu Donetsk dan Luhansk, sudah menyatakan diri berpisah dari negara ini. Bahkan, Putin telah mengakui kemerdekaan Donetsk dan Luhansk.

Agung Satyawan, Ph.D menerangkan, wilayah-wilayah Donetsk, Luhansk, dan beberapa wilayah di perbatasan Rusia-Ukraina, termasuk semenanjung Crimea merupakan entry-point Rusia untuk masuk ke Ukraina.

Wilayah-wilayah ini disebutnya banyak dihuni penduduk yang beretnis Rusia, pro terhadap Rusia, dan ingin melepaskan diri dari Ukraina. Donetsk dan Luhansk secara sepihak sudah menyatakan lepas dari Ukraina dan meminta perlindungan terhadap Rusia.

Hal ini menjadi legitimasi bagi Rusia untuk menggelar operasi militer di wilayah Ukraina. Dan, dua wilayah ini adalah pusat industri baja dan wilayah strategis yang dijadikan legitimasi untuk memaksa Ukraina tunduk kepada Rusia.

“Sejak pecahnya Uni Soviet, Ukraina menjadi negara merdeka. Wilayah perbatasan selalu memicu konflik karena banyak penduduk Ukraina di perbatasan adalah etnik Rusia. Mereka ingin lepas dari Ukraina dan oleh karena itu wilayah ini rawan gerakan separatis. Secara sepihak beberapa wilayah ini mengadakan referendum yang hasilnya menginginkan lepas dari Ukraina. Bagi Rusia, keberadaan Ukraina tidak masalah asal pemerintahnya tunduk kepada Rusia,” jelas Agung Satyawan, Ph.D.

Ia mengutarakan, kemungkinan Rusia untuk menyerang Ukraina secara besar-besaran merupakan skenario yang masuk akal. Pasalnya, Rusia telah menempatkan sejumlah besar pasukan dan instalasi militernya di perbatasan Ukraina.

Agung Satyawan, Ph.D menjelaskan bahwa Ukraina saat ini berada di posisi yang sangat rentan. Ia juga melihat bantuan militer NATO belum memungkinkan sebab Ukraina bukanlah anggotanya.

Ia mengatakan, skenario terburuk dari serangan Rusia ini adalah NATO menyetujui proposal bergabungnya Ukraina. Jika hal ini terjadi, Agung Satyawan, Ph.D mengkhawatirkan Perang Dunia (PD) III akan meletus.

“Semoga tidak terjadi,” harap Agung Satyawan, Ph.D.

Solusi Konflik Rusia-Ukraina

Agung Satyawan, Ph.D. membeberkan sejumlah solusi “sulit” yang dapat ditempuh pihak-pihak untuk meredakan serangan dan ketegangan antara Rusia dengaan Ukraina.

Pertama, Agung Satyawan, Ph.D mengharapkan adanya tekanan dari Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kepada Rusia. Tapi, opsi ini disebutnya sulit terjadi. Sebab, Rusia merupakan anggota tetap DK PBB dan negara ini dapat menggunakan hak vetonya.

“Embargo ekonomi untuk memaksa Rusia untuk menarik pasukannya. Opsi ini juga kurang efektif karena Rusia adalah negara besar yang punya kekuatan ekonomi untuk bertahan dari embargo Barat,” ujarnya.

Ia menyampaikan, opsi yang memungkinkan adalah melalui Majelis Umum PBB untuk menggalang opini dunia bahwa tindakan Rusia bertentangan dengan kaidah hukum internasional.

Jikalau ada ajakan untuk menggalang opini dari masyarakat sipil global melalui media sosial, cara ini disebut Agung Satyawan, Ph.D akan dilawan oleh warga Rusia dan yang terjadi adalah cyber war.

Walau serangan Rusia-Ukraina selama ini hanya melibatkan kedua negara dan negara-negara Barat, Agung Satyawan, Ph.D menyebut Indonesia juga dapat berkontribusi dalam mendamaikan konflik ini.

Alasannya, Indonesia mempunyai Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai landasan norma yang kuat untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia.

Ia juga memandang hubungan antara Indonesia dengan Rusia maupun Ukraina juga baik dan Indonesia saat ini telah memegang Presidensi G20 sejak tanggal 1 Desember 2021 yang lalu.

“Indonesia negara terbesar di ASEAN dan ASEAN mempunyai partnership dengan Rusia, maka kartu ASEAN ini bisa dimanfaatkan oleh Indonesia. Atas dasar potensi itu, Indonesia harus melakukan diplomasi super aktif untuk menjambatani antara Rusia dan Ukraina,” pungkasnya. Humas UNS

Reporter: Y.C.A. Sanjaya
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content