Bagaimana Mendampingi Teman dengan Masalah Kesehatan Mental?

UNS – ‘Here to Hear: Be Empathetic’, tajuk sebuah perbincangan perihal kesehatan mental yang dihadirkan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta dalam webinar “Health Talk: Psychologycal First Aid”. Webinar yang digelar pada Minggu (13/9/2020) tersebut, diikuti oleh kurang lebih 140 peserta baik dari kalangan mahasiswa maupun siswa sekolah.

Bersama Hasan Fahrur Rozi, S.Psi., M.Psi., seorang Psikolog Klinis yang juga alumnus Psikologi UNS, webinar ini lebih khusus menjadi ruang berbagi tentang bagaimana mendampingi teman dengan masalah kesehatan mental. Bagaimana menghadirkan diri di sisi seorang teman yang tengah menghadapi masalah dan berempati akan hal itu.

Satu hal yang kemudian ditekankan oleh Hasan tentang sikap awal yang perlu diperhatikan oleh seseorang sebelum mendampingi temannya dalam menghadapi masalah. Yakni pemahaman bahwa setiap orang memiliki sudut pandangnya masing-masing, seseorang boleh memberikan pandangan dengan tetap mengetahui batasannya.

“Satu hal yang perlu teman-teman pahami, kita tidak berkewajiban menyelesaikan masalah orang lain. Kita hanya perlu mendampingi mereka, itu pun kalau teman kita berkenan dan mengizinkan. Buat batasan di mana ‘aku’ menolong, di mana ‘aku’ memaksa,” ujar Hasan Ketua Himapsi UNS tahun 2015 ini.

Hasan pun menyebutkan dua teknik pendampingan yang dapat dilakukan, yakni teknik mendengar dan teknik bicara. Lebih lanjut, ada tiga poin penting dalam teknik mendengar yang dijelaskan oleh Hasan.

Yang pertama, kita perlu memahami sudut pandang orang lain atau teman kita dan mengetahui kebutuhannya. Apakah dia sedang ingin didengar saja ceritanya atau membutuhkan saran dari kita. Sebab terkadang, seseorang yang memiliki masalah atau tertekan hanya ingin didengarkan dan bercerita saja.

Kemudian, kita harus fokus mendengarkan konten dari cerita teman kita dan menghindari kesibukan mencari solusi atau membangun persepsi pribadi. Mendengarkan itu sendiri, imbuh Hasan, adalah salah satu solusi.

“Maka kita perlu melatih diri kita. Katakan pada diri kita, `Wait ini aku sedang mendengar` sehingga kita bisa berempati. Kita bisa paham sudut pandang orang lain dan apa yang dia rasakan,” tambahnya.

Sementara itu, dalam teknik berbicara, Hasan menjelaskan beberapa poin. Yaitu hindari penghakiman ataupun menyalahkan, tunjukkan empati secara verbal, yakinkan teman bahwa kita ada dan siap mendampinginya menghadapi kondisi saat ini.

Di sisi lain, dalam memproyeksikan masalah kita pun harus berhati-hati. Jangan memberi solusi hanya untuk kebutuhan kita pribadi. Jika memberi sudut pandang tegaskan dengan awalan `menurutku, kalau dari sudut pandangku`.

`Jangan gunakan `kamu harusnya..`, itu terkesan memaksa. Kita harus menegaskan `ini menurutku`. Nggak papa banget kalau kamu punya pandangan berbeda. Izinkan juga kawan kita untuk menanggapi dengan bertanya padanya, “kalau menurutmu gimana?”,” terang Hasan.

Namun, ketika teman kita bertanya bagaimana solusinya dan bagaimana pendapat kita, kita pahami, hargai, dan diskusikan terlebih dahulu upaya yang sudah dilakukan oleh kawan kita dalam menyelesaikan masalahnya.

“Jika kita dan teman kita sama-sama bingung, ajak kawanmu mendapatkan sudut pandang lain dari profesional,” imbuh Hasan.

Hasan juga menjelaskan, pertolongan profesional ini diperlukan ketika telah mengalami beberapa hal. Seperti terdapat ciri masalah kesehatan jiwa yang cenderung menetap, mengganggu aktivitas, menurunkan atau meningkatkan secara tidak wajar fungsi dan peran, serta termasuk ketika sudah muncul keinginan menyakiti diri. Humas UNS

Reporter: Kaffa Hidayati
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content