Bahas Branding Solo Mendatang, Pakar UNS sebut ‘Solo the Spirit of Java’ Harus Lebih Dihidupkan

UNS — Menjelang pergantian kepemimpinan Kota Solo tentu diperlukan strategi anyar dalam pengembangan kota. Salah satunya perihal branding Kota Solo yang menjadi aspek strategis untuk menarik wisatawan, pelaku usaha, dan investor.

Pakar Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Andre Rahmanto, M.Si. menyebut bahwa branding Kota Solo menjadi satu hal yang perlu diperhatikan oleh kedua Calon Wali Kota Solo dalam visi misinya. Sebab, bagaimana perwajahan dan citra Solo nantinya akan menjadi payung pada semua kegiatan atau program Kota Solo lima tahun ke depan.

Dalam hal ini, ia menyoroti slogan Solo the Spirit of Java yang mengandung makna bahwa ‘Solo merupakan jiwanya Jawa’. Salah satu bentuk citra Solo yang dibuat pada tahun 2005 dan disahkan pada tahun 2008 melalui peraturan bersama Kepala Daerah Solo Raya.

Pertanyaannya adalah, akankah slogan ini masih mampu menjadi konsep dan nilai perwajahan Kota Solo di masa mendatang, khususnya di kepemimpinan 2020-2025. Andre pun berpendapat jika slogan ini masih dapat digunakan, masih memiliki esensi yang kuat serta sesuai dengan Kota Solo.

Namun, tambah Andre, hal itu tentu bergantung pada bagaimana menghidupi brand tersebut. Kalau hanya dibiarkan kosong, logo dan slogan Solo the Spirit of Java tidak memiliki makna apapun. Menghidupi artinya memahami filosofi Solo the Spirit of Java, lalu dikembangkan dan diimplementasikan melalui berbagai aktivitas di kota ini.

“Sehingga (red: Solo Spirit of Java) memang menjadi janji yang ditawarkan dan akan diberikan untuk masyarakat yang datang dari luar Solo. Baik sebagai wisatawan, investor untuk usaha, maupun UMKM menemukan janji dalam brand itu. Namun, kalau kenyataannya tidak sesuai maka akan menjadi masalah,” jelas Andre dalam webinar Visi dan Strategi Branding Kota Solo di Masa Depan, Kamis (12/11/2020).

Bila Solo the Spirit of Java masih akan digunakan, ada beberapa Pekerjaan Rumah (PR) yang menurut Andre harus dirampungkan pemerintah Solo. Pertama, selain konsisten, harus ada implementasi slogan dalam bentuk atmosfer Jawa.

Andre mencontohkan saat kepemimpinan Joko Widodo, branding dilakukan melalui penataan wajah Kota Solo dengan ornamen atau sarana prasarana bernuansa kejawaan. Siapapun yang masuk ke Solo dari berbagai pintu, akan langsung menemui identitas yang menggambarkan Spirit of Java dalam ornamen atau sarana prasarana itu.
“Saat ini, misal ada implementasi dengan menghadirkan suara-suara gamelan di hotel yang akan membuat nuansa atau atmosfer Jawa terasa. Sekarang hal itu yang belum kita dapatkan di Solo,” tutur Andre.

Yang kedua, menghadirkan spirit melalui beragam pergelaran. Selama ini, imbuh Andre, orang-orang yang ke Solo kesulitan menemukan tempat untuk melihat pergelaran budaya Jawa. Memang acara budaya tahunan Solo ada, tapi masih perlu evaluasi dan perbaikan sistem.

Di sisi lain, Solo the Spirit of Java ini sebenarnya merupakan regional branding Solo Raya. Hingga kemudian mengandung masalah karena para kepala daerah di Solo Raya tidak mencapai kesepakatan. Misalkan lokasi bandara Adi Soemarmo yang sering disebut Bandara Solo, bukan Boyolali sebagaimana letak geografisnya seringkali menjadi perdebatan.

Dengan demikian, Andre mengatakan pemerintah Solo perlu berkoordinasi dengan para kepala daerah Solo Raya untuk membahas pembagian tugas, laba, dan lain sebagainya berkaitan dengan branding ini.
Koordinasi juga harus dilakukan dengan para stakeholder internal, seperti akademisi, pengusaha, serta seniman. Semua itu perlu didorong oleh aturan-aturan dan Standart Operating Procedur (SOP) yang tegas serta jelas.

“Misalkan menghidupkan atmosfer Jawa di hotel, bukan sekadar kesadaran. Tapi harus ada dan didorong aturan,” kata Andre yang juga menjabat Ketua BPC Perhumas Solo.

Permasalahan lain yang disinggung Andre adalah waktu yang terbatas. Waktu lima tahun kepemimpinan sebenarnya terbatas. Oleh karenanya, dengan beragam PR di atas, harus ada prioritas.

Branding, ungkapnya, mengarusutamakan satu, dua, dan tiga hal yang penting. Ada aspek primer, sekunder, dan tersier. Aspek primer ini salah satunya meliputi perilaku masyarakat, yakni bagaimana Spirit of Java tersebut hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan terus dikembangkan.
Sementara aspek sekunder, meliputi kebutuhan promosi melalui humas, pemasaran, dan media sosial. Terakhir, aspek tersier dapat berupa testimoni tentang Solo dari warga Indonesia maupun internasional yang akan memperkuat Kota Solo

“Kita berharap banyak kepada pemimpin Solo ke depan, Solo the Spirit of Java itu memang masih bisa dipakai, kita kembangkan lagi menjadi payung di berbagai sektor. Sejak adanya otonomi daerah, branding ditentukan oleh pemimpinnya. Tergantung siapa yang membawa. Sangat tergantung pada visi misi walikotanya,” ujar Andre. Humas UNS

Reporter: Kaffa Hidayati
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content