Bincang Sastra: Alumni Tesa FIB UNS Paparkan Materi Naskah Kuno

Bincang Sastra Alumni Tesa FIB UNS
Bincang Sastra:Alumni Tesa FIB UNS

UNS — Alumni Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Sastra (Tesa) Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta mengadakan kegiatan Bincang Sastra. Kegiatan ini sudah berjalan lima kali, dalam episode ke-5 yang berlangsung pada Minggu (28/3/2021), Alumni Tesa menghadirkan Asep Yudha Wirajaya dan Theresia Alit sebagai narasumber. Pada setiap episode, Bincang Sastra selalu mengangkat tema berbeda untuk menambah wawasan seluruh peserta yang mengikuti kegiatan ini.

Dalam materinya, Asep Yudha Wirajaya memaparkan materi tentang pemanfaatan naskah kuno dalam bidang seni pertunjukkan. Ia menyatakan bahwa saat ini keberadaan naskah kuno masih dipandang sebelah mata oleh berbagai pihak di Indonesia.

“Makanya, tidak mengherankan jika kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah belum begitu berpihak bagi keberadaan dan penyelamatan naskah-naskah kuno. Sementara itu, gerakan illegal market yang cukup massif dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sehingga naskah-naskah tersebut banyak yang berpindah kepemilikannya menjadi milik negara lain atau kolektor asing,” jelasnya.

Padahal, banyak manfaat yang dapat digali melalui naskah-naskah kuno tersebut baik sebagai sumber informasi, pengetahuan, maupun hiburan. Assep menuturkan bahwa dalam bidang seni pertunjukan, naskah kuno dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam menghasilkan karya-karya baru yang spektakuler.

“Seperti I La Galigo yang berangkat dari naskah kuno abad 13 – 14 Masehi di daerah Bugis–Makasar. Kini, ia tampil sebagai karya pementasan teater yang memukau dunia. Ia dipentaskan lebih dari 12 kota dan 9 negara. Bahkan, kini I La Galigo telah ditetapkan United Nations of Educational Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) sebagai MoW (Memory of The World) yang jauh melebihi Ramayana, Mahabarata, dan Homerus,” tuturnya.

Sementara itu, Theresia Alit membawakan materi tentang ambiguitas permainan cublak-cublak suweng dalam teks Serat Suluk Bango Buthak. Cublak-cublak suweng merupakan permainan tradisional kolektif yang dimainkan oleh 3-5 orang.

“Permainan diawali dengan berkumpulnya parapemain, setelah berkumpul mereka melakukan hompimpa, serentak para pemain mengucapkan hompimpa alahiom gambreng. Hompimpa pun diulang kembali, pemain yang kalah terakhir disebut pemain dadi, sedangkan lainnya disebut pemain mentas. Para pemain mentas kemudian berkumpul untuk menentukan pemain yang jadi mbok dengan cara hompimpa lagi. Si mbok atau induk ini memiliki tugas untuk memegang uwȇr, semacam batu, kerang, ataupun biji-bijian yang nantinya diketukkan secara perlaharan dari satu telapak tangan pemain ke telapak tangan lainnya,” jelasnya saat memaparkan materi.

Ia kembali menjelaskan bahwa melalui proses adaptasi dan apropriasi, cublak-cublak suweng berubah fungsinya menjadi sarana pepeling dalam teks Serat Suluk Bango Buthak.

“Cublak-cublak suweng diapropriasi dalam teks Serat Suluk Bango Buthak untuk mengekspresikan keprihatinan dalam sikap beragama yang terlalu memperhatikan wujud luar.  Salah satu pesan dari teks Serat Suluk Bango Buthak adalah bahwa syahadat bukan hanya ungkapan iman yang berhenti pada ucapan, tetapi sebagai sebuah proses penghayatan iman yang panjang,” terangnya. Humas UNS

Reporter: Bayu Aji Prasetya
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content