Cerita Alumnus UNS: Melihat Indonesia dari ‘Natuna’

UNS — Keinginan untuk melihat Indonesia dari sudut pandang yang lain, mengantar seorang Norma Ayu Setyabudi pada pengabdian bersama Indonesia Mengajar (IM) di Pulau Natuna. Selama satu tahun, dari akhir 2018 hingga 2019 lalu, alumnus Pendidikan Luar Biasa (PLB) Universitas Sebelas Maret (UNS) ini berupaya untuk turut memberikan kontribusi bagi kemajuan pendidikan di sana.

Bagi Yayak, sapaan akrabnya, ‘sudut pandang lain’ diantaranya dapat ditemukan dengan bertandang ke tempat baru sekaligus mengenal orang-orang baru. Ada pula alasan yang lebih personal. Melalui IM yang mempertemukannya dengan banyak anak-anak sekolah, Yayak ingin menjaga semangat masa kanak-kanak di usia 25 tahunnya ini.

“Aku termasuk orang yang kalau jatuh, susah bangkit. Beda dengan sosok anak-anak. Misal jatuh dari sepeda pagi hari, sorenya akan langsung bangkit lagi. Bahagia lagi. Lalu alasan paling utama, aku ingin memperluas tempat sujud dan ibadah,” ungkap Yayak, Jumat (27/11/2020).

Dalam perbincangan, Yayak menceritakan sudut pandang lain tentang Indonesia yang ia peroleh melalui beragam pengalaman mengesankan maupun tantangan selama di Natuna. Pertama, untuk mengajar di sana tidak hanya memerlukan niat dan energi luar biasa, tapi juga pertaruhan nyawa.

Bagaimana tidak, sekolah tempat Yayak mengajar terletak di antara laut dan tebing. Pernah suatu kali, sekolah tersebut longsor dan diterjang ombak. Tantangan juga datang dari kultural masyarakat yang sangat dekat dan bergantung pada alam. Hal itu pun berpengaruh pada pelaksanaan pendidikan di sana.

Misal, tutur Yayak, saat musim panen cengkeh anak-anak lebih memilih ikut panen dibandingkan pergi ke sekolah. Begitu pula ketika hujan di pagi hari, anak-anak tidak akan berangkat sekolah paginya, tetapi menunggu seberhentinya hujan.

Bahkan, hal serupa terjadi pada para gurunya. Salah satu Kepala Sekolah sering tidak datang ke sekolah dengan dalih pergi melaut. Memang, penghasilan melaut di Natuna ketika sedang bagus bisa mencapai angka Rp. 5-6 juta dalam tiga hari. Lebih tinggi dari penghasilan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS).

“Ketika ada panggih (salah satu prosesi pernikahan), guru-guru diundang. Para siswa diliburkan. Dan mereka selalu buat acaranya tidak di hari Minggu,” imbuh Yayak seraya tertawa.

Melihat beragam tantangan kultural tersebut, Yayak pun menuturkan bahwa tidak mudah memperbaiki sistem pendidikan yang ada. Hal itu juga membuat ia menyadari bahwa seharusnya ada otonomi khusus bagi masing-masing daerah dalam pengelolaan sistem pendidikanya. Terutama bagi daerah 3T.

Kehadiran IM, ujar Yayak, juga tidak bisa serta merta mengubah dan memperbaiki sistem. Sasaran IM adalah mengubah perilaku masyarakat yang tentu tidak bisa dirampungkan dalam waktu setahun dua tahun.

Lebih lanjut, Yayak mengatakan, yang dilakukan relawan IM adalah mencoba untuk meminimalisir beberapa hal yang perlu perbaikan. Mereka juga bergerak sebagai supporting system. Mendorong, mengajak, dan melatih warga di sana yang sekiranya bisa menjadi penggerak selepas para relawan pergi.

Bentuk nyatanya, antara lain dengan menjalin hubungan bersama para mitra langsung. Seperti orang tua, guru, dan pejabat. Sebuah advokasi juga dilakukan, sebab ada dana desa untuk bidang pendidikan yang dialokasikan tetapi tidak digunakan.

“Kami inisiasi forum warga sebanyak dua kali, di desa dan kecamatan. Pendekatannya, kami ikut warga yang potensial untuk jadi penggerak. Aku pernah ikut melaut, terus ngopi bareng sembari ngobrol. Harapannya, mereka berkenan diskusi dan mendengarkan ide-ide kita,” terang perempuan asal Yogyakarta ini.

Pengalaman dan pelajaran selama di Natuna juga mencuatkan impian baru bagi Yayak, yakni belajar urban planning. Letak sekolah yang tidak aman menunjukkan bahwa dari segi urban planning atau perencanaan kota, sekolah di Jawa kebanyakan sudah aman. Namun belum untuk daerah 3T. Hal ini membuat ia menyadari bahwa untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan itu perlu dukungan dan pertimbangan banyak faktor, salah satunya urban planning.

“Saat ini aku sedang memperkuat portofolio untuk lanjut studi di bidang perencanaan kota dan mau jadi profesional. Mendukung pendidikan dari bidang ini,” jelas Yayak.

Di akhir perbincangan, Yayak menyampaikan harapan untuk anak-anak dan pendidikan Indonesia. Dalam proses pendidikan dan era digitalisasi, ia berharap agar ‘anak tetap menjadi anak’. Jangan dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak disuka atau tidak diperlukan

“Selain itu, sangat perlu kontrol orangtua dan kolaborasi berbagai pihak. Orangtua, pelaku pendidikan, dan pemangku kebijakan,” pungkas Yayak. Humas UNS

Reporter: Kaffa Hidayati
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content