Childfree dari Kacamata Psikolog UNS

by | Jul 1, 2021 13:57 | Berita Terkini

UNS — Dalam konten #Newsroom63B berjudul ‘Nikah Tapi Memilih Gak Punya Anak, Kok Bisa?’ yang ditayangkan kanal YouTube TirtoID pada 21 Mei 2021 lalu, disebutkan bahwa gaya hidup childfree atau memutuskan tidak memiliki anak mengalami tren peningkatan baik di Indonesia maupun luar negeri.

Beberapa alasan yang melatarbelakangi keputusan tersebut antara lain masalah personal, finansial, latar belakang keluarga, kekhawatiran akan tumbuh kembang anak, isu atau permasalahan lingkungan, hingga alasan terkait emosional atau maternal ‘instinct’.

Keputusan ini memang sangat personal. Akan tetapi, juga tidak menutup kemungkinan memunculkan beberapa dampak seperti adanya stigma negatif dari masyarakat bahkan keluarga sendiri. Stigma tersebut pun membuka kesempatan timbulnya tekanan sosial bagi pasangan dengan keputusan childfree.

Terkait hal ini, Dr. Tri Rejeki Andayani, S.Psi., M.Si., Psikolog Sosial dari Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menuturkan bahwa salah satu pihak yang perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan childfree ialah keluarga besar.

Pernikahan pada prinsipnya, imbuh Dr. Tri, tidak hanya melibatkan dua individu saja, tetapi juga dua keluarga besar. Alhasil, keputusan untuk tidak memiliki anak sebaiknya disampaikan ke orang tua masing-masing..

“Sebab, orang tua dari pasangan suami istri itu tentu memiliki harapan pada pernikahan anak-anaknya. Salah satunya harapan untuk memiliki cucu yang meneruskan keturunannya,” jelasnya, Kamis (1/7/2021).

Apabila keputusan tersebut tidak dapat diterima, tentu dapat menjadi tekanan sosial bagi pasangan. Namun, jika dapat diterima, maka pasangan akan lebih mudah menghadapi tekanan sosial dari masyarakat di luar keluarga.

Mengapa Bisa Memutuskan Childfree?

Ketika menemui fenomena childfree, keheranan barangkali akan menjadi respons yang dominan. Mengapa menikah jika kemudian tidak memiliki anak?

Hal ini ini tidak terlepas dari perspektif budaya kolektif kita. Kultur masyarakat menuntut atau mengharapkan seseorang yang telah memasuki usia dewasa untuk menikah dan setelah menikah akan ditanyakan tentang kehadiran anak.

Seperti yang dijelaskan di atas, ada beberapa alasan yang melatarbelakangi keputusan tersebut. Salah satu alasan yang menarik yakni berkaitan dengan isu atau permasalahan lingkungan. Populasi penduduk bumi yang semakin meningkat, tetapi tidak sejalan dengan ‘kesehatan’ bumi dan ketersediaan pangan. Hingga childfree akhirnya dipilih sebagai langkah yang dapat ditempuh.

Dr. Tri pun menyinggung perspektif teori perkembangan Erikson, yang menyatakan setiap orang akan memasuki tahap stagnan versus generativitas. Orang yang stagnan cenderung sulit menemukan cara berkontribusi pada kehidupan.

Sementara itu, generativitas akan mendorong seseorang peduli pada orang lain, kemudian selalu menciptakan dan mencapai hal-hal yang membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, termasuk melalui pernikahan.

Akan tetapi, pada perkembangannya, generativitas ini tidak hanya membatasi pada domain pernikahan dan menjadi orang tua. Sehingga orang-orang yang memutuskan hidup lajang atau childfree biasanya akan mengekspresikan generativitasnya melalui berbagai bidang kehidupan.

“Seperti menjadi relawan, aktivitis lingkungan hidup, bekerja secara profesional, atau terlibat dalam kegiatan agama, sosial, maupun politik,” tambah Dosen Psikologi FK UNS ini.

Di sisi lain, Dr. Tri mengatakan, ketidakyakinan akan kemampuan dalam merawat dan mengasuh anak juga menjadi salah satu kekhawatiran yang sering kali dialami. Oleh karenanya, salah satu pembekalan yang penting diberikan di masa persiapan nikah adalah membangun parenting self-efficasy pada keduanya.

“Sehingga calon ayah atau ibu memiliki keyakinan diri terhadap kompetensinya dalam merawat dan memberikan pengasuhan pada anak yang secara positif. Hal ini akan berpengaruh pada perilaku pengasuhannya dan menunjang tumbuh kembang anak secara optimal,” katanya. Humas UNS

Reporter: Kaffa Hidayati
Editor: Dwi Hastuti

Prodi ITP FP UNS kembali Gelar 5th International Guest Lecture Week of Food Science and Technology

UNS --- Program Studi (Prodi) S1 Ilmu Teknologi Pangan (ITP) Fakutas Pertanian (FP) Universitas...

Hari Lingkungan Hidup Sedunia jadi Momentum Pembersihan Danau UNS

UNS - Tim Green Campus Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta dan Pusat Penelitian Lingkungan...

PKM UNS Berdayakan Kualitas dan Pemasaran UKM Coklat Tin Desa Plumbon

UNS - Universitas Sebelas Maret (UNS) kembali melaksanakan kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat...

Kopma UNS Periode 2023/2024 Resmi Dilantik

UNS - Pengurus dan Pengawas Koperasi Mahasiswa (Kopma) Universitas Sebelas Maret (UNS) Periode...

Mimbar Gagasan Edisi ke-2 DP UNS Diskusikan Pentingnya Pendidikan Karakter bagi Generasi Emas Indonesia

UNS --- Dewan Profesor (DP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menggelar Mimbar Gagasan...

Mahasiswa UNS Borong Penghargaan dalam Ajang Duta Genre Kabupaten Sukoharjo 2023

UNS – Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta kembali sukses meraih prestasi yang...

FISIP UNS dan School of Government UUM Gelar International Guest Lecture

UNS - Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta bersama...

Usai Berkunjung, Delegasi Saudi Fund for Development Puas dengan Pengelolan RS UNS

UNS --- Rumah Sakit (RS) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menerima kunjungan Saudi Fund...

FK UNS Lepas 20 Dokter Spesialis

UNS --- Fakultas kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) melalui Program Pendidikan Dokter...

Prodi Orthopaedi dan Traumatologi FK UNS Jalani Asesmen Lapangan Akreditasi LAM-PTKes

UNS --- Sebagai Program Studi (Prodi) yang mempunyai visi bereputasi internasional dan...