Covid-19 Miliki ‘Seribu Wajah’, Berikut Rekomendasi Ahli Paru UNS

UNSCoronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang telah mewabah beberapa bulan terakhir memiliki gejala yang berkaitan dengan saluran pernapasan seperti batuk, sesak napas, bersin, dan ditambah dengan demam tinggi. Hal ini tercantum dalam panduan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia juga dalam suatu Early Warning Score (EWS) yang saat ini digunakan secara luas.

Akan tetapi, menurut Prof. Dr. Reviono, dr., Sp.P(K), Pulmonologi atau Ahli Paru Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, saat ini berbagai gejala dan tanda tersebut tidak dapat lagi menjadi pegangan. Sebab, gejala dan tanda Covid -19 sangat bervariasi, tidak lagi khas suatu wajah infeksi virus pada saluran pernapasan. Sudah banyak kasus positif tanpa menunjukkan gejala saluran pernapasan dan demam seperti yang disebutkan di atas.

“Sehingga saat ini sudah banyak pendapat mengenai Orang Tanpa Gejala (OTG), yang berdampak mempersulit deteksi untuk kasus Covid- 19 ini. Hal ini dapat diterangkan karena reseptor virus Covid-19 (SARS CoV2) mempunyai reseptor di berbagai organ, mulai dari hidung, paru, usus, mata dan lain lain, hanya dengan jumlah yang berbeda beda,” ujarnya saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi UNS, Rabu (20/5/2020).

Bahkan, imbuh Prof. Reviono, terdapat kasus Covid-19 yang tidak menunjukkan gejala sebagaimana gangguan pernapasan berat (Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)) pada umumnya. Yakni merasa gelisah dan menurun kesadarannya meskipun memiliki gambaran rontgen toraks perselubungan luas dan hipoksemia berat.

Tidak hanya gejala Covid-19 saja, Prof. Reviono pun menambahkan bahwa variasi juga terjadi pada pemeriksaan radiologi dan darah pasien. Pada pemeriksaan radiologi, keberadaan infiltrat atau flek semacam ‘kabut’ tipis pada hasil rontgen paru diyakini merupakan tanda Covid-19. Kenyataannya di lapangan tidak mesti demikian. Ada kasus dengan keberadaan infiltrat yang jelas ternyata gejala penyakit leptospirosis. Sebaliknya, terdapat kasus dengan foto rontgen paru normal, ternyata hasil PCR Covid-19 positif.

“Dari berbagai macam variasi gejala dan tanda klinis, laboratoris, radiologis, dan juga patogenesis tersebut tentu mengakibatkan munculnya berbagai macam cara pengobatan. Tidak kurang dari 30 macam terapi yang sudah diteliti untuk digunakan pada kasus Covid-19. Meskipun demikian belum ada terapi yang direkomendasikan secara global dan terbukti efektif untuk Covid 19,” imbuhnya.

Menanggapi hal tersebut, Prof. Reviono pun menyarankan para klinisi sekaligus peneliti di Indonesia untuk aktif meneliti berbagai macam terapi tersebut untuk berbagai wilayah. Sehingga ke depan, Indonesia mempunyai data dasar dengan karakteristik untuk populasi Indonesia yang dapat membantu para klinisi memiliki referensi kuat. Selain itu, apabila di kemudian hari muncul wabah serupa, maka para peneliti akan dapat mengembangkan terapi yang sudah diteliti sebelumnya.

Berbicara perihal penelitian, lebih lanjut Prof. Reviono merekomandasikan pentingnya pembuatan sistem pelayanan dalam penelitian. Selama belum ada terapi yang definitive untuk virus corona, maka memberikan obat yang dianggap mampu menyebabkan penyakit tersebut oleh para klinisi adalah keniscayaan.

“Tetapi ada aturan di mana tidak sembarang obat dapat diberikan, sehingga perlu adanya regulasi khusus yaitu penelitian dalam pelayanan agar dapat dilakukan pengawasan secara tepat. Selain itu, sistem pelayanan dalam penelitian ini harus dikembangkan ke semua pusat pendidikan atau FK yang mempunyai Rumah Sakit Pendidikan utama maupun jejaring,” jelasnya.

Sementara dalam pelayanan penelitian, Prof. Reviono menyarankan agar pihak terkait memiliki prioritas yang harus mempertimbangkan masalah klinis pasien Covid-19. Ada dua macam terapi yang diperlukan segera, yaitu terapi kausatif di mana obat yang memang didesain sebagai antivirus harus diprioritaskan dan terapi khusus untuk kasus berat yang menyebabkan kematian. Sebagaimana penelitian yang dilakukan FK UNS saat ini, yakni tentang pemberian plasma convalescent, substansi yang memproteksi IL-6 (anti IL-6) misalnya Tocilizumab, curcumin dan lainnya.

Hal yang tidak kalah penting menurut Prof. Reviono adalah penelitian khusus yang berkesinambungan, tidak hanya saat terjadi wabah sebagai antisipasi terhadap wabah serupa. Terlebih, ada kabar akan adanya second wind dari Covid-19.

Prof. Reviono menilai, selama ini ketika beberapa kali terjadi wabah, secara global masih kedodoran dalam menentukan obat untuk masing-masing penyakit yang menyebabkan wabah tersebut. Belum selesai pengembangan obat untuk SARS, muncul wabah MERS. Obat MERS belum ditemukan, sudah muncul Covid-19 yang berdampak di tataran global.

“Secara umum, mengantisipasi datangnya wabah, epidemi ataupun pendemi harus dilakukan setiap negara. Harapannya, antibiotik yang dapat disintesis ulang dan disesuaikan dengan bakteri target pada penyakit akibat bakteri, seperti tuberkulosis dan pneumonia bacterial dapat juga dilakukan pada virus,” terangnya.

Mengakhiri rekomendasinya, Prof. Reviono menyoroti adanya informasi yang simpang siur di era digital ini. Terlebih dengan banyaknya variasi pada Covid-19, termasuk terapi dan pengobatannya. Untuk itu, Prof. Reviono menekankan pentingnya membiasakan masyarakat luas agar akrab dengan Evidence Based Medicine (EBM) atau pengobatan berbasis bukti penelitian.

“Ini merupakan upaya strategis agar masyarakat mendapatkan informasi pengobatan yang valid dan jauh dari hoaks,” pungkasnya.Humas UNS/Kaffa

Skip to content