Daya Lenting Perempuan Difabel Rentan, Bagaimana Kampus Berperan?

UNS — Adanya penurunan pendapatan di masa pandemi, Dr. Rina Herlina Haryanti, S.Sos., M.Si., peneliti Pusat Penelitian Kependudukan dan Gender (PPKG) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menyebut daya lenting atau kemampuan bertahan perempuan difabel sebagai katup ekonomi keluarga lebih rentan. Memiliki stigma berlevel sebagai perempuan dan difabel, mereka harus tetap mengurus domestik rumah tangga sekaligus bergerak di sektor publik.

Kepada uns.ac.id, Dr. Rina pun menyampaikan bahwa perguruan tinggi atau kampus harus benar-benar mengambil peran dalam penanganan masalah ini. Khususnya UNS yang telah menambah indikator standar pendidikannya sebagai Kampus Inklusi.

Peran tersebut dapat dihadirkan melalui pembuatan kajian masyarakat berikut edukasinya, pengabdian, serta produk inovatif yang mendukung aktivitas teman-teman difabel.

“Pengabdian masyarakat harus melihat sisi-sisi yang jarang terlihat. Kita bisa ikut meningkatkan keterampilan mereka, memberikan mereka pengetahuan, memperkenalkan alat-alat produksi. Jadi, ranah berbaginya di sini,” kata Dr. Rina, Selasa (16/2/2021).

Dr. Rina bercerita, saat berdialog dengan teman-teman difabel, ada yang menyampaikan bahwa mereka tidak mempunyai tempat untuk memasarkan kerajinannya. Bahkan terkadang, hanya memproduksi dan berjualan di depan rumah.

“Nah, UNS bisa memberi tempat bagi sekelompok komunitas ini untuk bergerak. UNS dengan Prodi Pendidikan Khusus, Fakultas Teknik dengan berbagai inovasinya, Pusat Studi Disabilitas, sangat bisa berperan,” imbuh Dr. Rina.

Dalam pelaksanaannya, Dr. Rina mengatakan UNS dapat berkolaborasi dengan institusi atau perusahaan mitra UNS yang akan melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaannya. Mahasiswa pun dapat dilibatkan melalui Kuliah Kerja Nyata (KKN), team based project dan metode pembelajaran lainnya mengingat program Kampus Merdeka yang telah diterapkan.

Misalkan saja, mahasiswa Administrasi Negara yang dapat belajar bagaimana kemudian kebijakan negara berperan dalam hal mainstreaming difabel dan community governance. Tidak hanya teknis, mahasiswa juga belajar untuk lebih peduli dan peka dengan yang dialami masyarakat.

Pentingnya Komunitas

Dari sisi individu, Dr. Rina menuturkan, perempuan difabel harus meningkatkan informasi kesehatan, berinovasi, dan meningkatkan kreativitas sesuai kebutuhan di masa pandemi. Namun, dalam hal ini sangat dibutuhkan peran komunitas sebagai tempat berjejaring dan tempat untuk mengembangkan diri.

“Komunitas itu punya link ke pemerintah, ke swasta yang melaksanakan CSR. Minimal mereka bisa akses dan tahu hak mereka, fasilitas apa yang didapatkan dari negara. Bukan berarti mengajarkan ‘meminta’ ya, tapi setidaknya penting untuk tahu haknya,” tutur Dr. Rina.

Berbicara perihal akses ke pemerintah, berarti berkaitan dengan perlunya pencerdasan dan edukasi politik. Salah satu bentuk edukasi telah dilakukan PPKG UNS melalui ‘Dialog Wanita dan Inspirasi’ yang bekerja sama dengan RRI Surakarta pada 4 Februari 2021 lalu.

Pada kesempatan tersebut, Dr. Rina yang hadir sebagai pembicara, menyampaikan perihal ‘Daya Lenting Perempuan Difabel di Era Pandemi’. Beragam respons baik pun datang dari masyarakat, meskipun memang lebih didominasi oleh Lansia.

“Ini yang kemudian jadi PR-nya. Kita ada di lintas generasi. Sangat perlu menanamkan nilai kepedulian kepada anak-anak sekarang agar tahu kondisi sosial di lingkungan sekitarnya” pungkas Dr. Rina. Humas UNS

Reporter: Kaffa Hidayati
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content