Diskusi Modernisasi dan Krisis Regenerasi Petani: Petani Muda dan Persepsi Bertani

Masalah krusial sektor pertanian seperti krisis regenerasi petani muda di pedesaan serta modernisasi alat pertanian menjadi sorotan banyak pihak. Salah satunya Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2K- LIPI) yang mendiseminasikan hasil penelitiannya, Selasa (20/9/2016). Bekerja sama dengan Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, diseminasi dikemas dalam bentuk diskusi multi stakeholder.

Diskusi  interaktif mengenai kajian modernisasi dan krisis regenerasi petani di tiga desa di wilayah Sragen, Klaten dan Sukoharjo menghadirkan pembicara Gutomo Bayu Aji dari P2K LIPI; Aprilia Ambar mewakili Direktur Pusat Studi Sosial AKATIGA, Bandung; Hapsoro, Kepala Desa Sidowayah, Polanharjo, Klaten; Titik Eka Sasati, Yayasan Gita Peritiwi, Solo; dan Siti Zunariyah dari FISIP UNS. Diskusi juga dihadiri peserta dari perwakilan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah Kabupaten Sragen, Klaten dan Sukoharjo, akademisi, mahasiswa, dan peneliti baik dari pemerintah maupun non-pemerintah.

Persepsi

Modernisasi, khususnya di pesedaan telah merambah bidang pendidikan, kesejahteraan keluarga, pertanian, dan mata pencaharian non-pertanian. Modernisasi tersebut berdampak pada kemajuan sebagian kehidupan penduduk pedesaan. Di sisi lain, modernisasi yang tidak diikuti penciptaan lapangan pekerjaan di pedesaan terutama khususnya sektor pertanian dianggap menyebabkan penduduk pedesaan meninggalkan sektor pertanian.

Kemudian, pembentukan persepsi serta aspirasi anak-anak di pedesaan dipengaruhi juga oleh modernisasi. Titik Eka Sasati menyebut ada beberapa persepsi yang menyebabkan sektor pertanian kurang diminati anak muda, yakni persepsi bertani itu kotor, butuh kerja keras, jadul, susah, tidak keren. Selain itu, bekerja di sektor pertanian dianggap dekat dengan kemiskinan dan menjadi pilihan terakhir. Titik juga menyebut adanya persepsi orang tua yang ingin anaknya kelak bekerja di sektor lain, yakni pekerjaan dengan pendapatan rutin, pakaian rapi, dan wangi.

“Kami menemui, sekarang yang concern di pertanian tinggal orang tua,” ulas Titik yang bekerja untuk Yayasan Gita Pertiwi Solo, lembaga swadaya masyarakat yang memfokuskan diri pada kegiatan pelestarian lingkungan dan pengembangan masyarakat. Titik kembali menuturkan, anak muda akan kembali ke desanya apabila masa panen datang. Uniknya, masa panen juga digunakan para anak muda untuk mencari jodoh. Anak muda juga akan pulang ke desa setelah uang yang didapat dirasa cukup untuk membeli lahan.

modernisasi yang tidak diikuti penciptaan lapangan pekerjaan di pedesaan terutama khususnya sektor pertanian dianggap menyebabkan penduduk pedesaan meninggalkan sektor pertanian.
Modernisasi yang tidak diikuti penciptaan lapangan pekerjaan di pedesaan terutama khususnya sektor pertanian dianggap menyebabkan penduduk pedesaan meninggalkan sektor pertanian.

Hapsoro mengemukakan,  lahan persawahan di Desa Sidowayah sebagaian besar milik orang yang tinggal di luar desa tersebut. Sehingga, orang asli Desa Sidowayah hanya sebagai petani penggarap yang tidak memiliki otoritas mengolah lahan.

Akses Lahan terbatas

Sementara Aprilia Ambar menyebut, lahan di sektor pertanian terbatas untuk anak muda. Pertama,lahan pertanian perseorangan terhimpit dengan korporasi. Kedua, orang tua belum mempercayakan lahannya atau mewariskan lahan mereka kepada anak muda. Bahkan, masa tunggu anak muda mendapat warisan lahan rata-rata mencapai 40 tahun.

Dari permasalah yang ada, Titik merasa butuh strategi pendekatan anak muda, yakni dengan strategi value chain (rantai nilai). Anak muda dilibatkan dalam proses pra produksi, produksi, pasca produk, serta promosi dan pemasaran. Dari fenomena yang ditemui, rupanya anak muda lebih cenderung memilih terlibat dalam proses promosi dan pemasaran. Bahkan, anak muda kini menggunakan media sosial untuk promosi dan pemasaran hasil pertanian.

Di sisi lain, Siti Zunariah memaparkan solusi yang bisa di tempuh untuk krisis regenerasi petani muda yakni diperlukan pendidikan sebagai proses akumulasi pengetahuan dan pembangunan karakter. Pendidikan tersebut di terapkan dari tingkat keluarga hingga pedesaaan. Pendidikan yang diberikan kemudian didukung dengan pengetahuan tentang koperasi, tata produksi pertanian teknis, teknologi tepat guna dan teknologi pangan.

Terakhir, dalam usaha memberdayakan anak muda, penting untuk diingat visi dan misi desa tersebut. Kegiatan juga harus sesuai dengan orientasi pada aset desa. Pendekatan yang digunakan tidak hanya satu sisi, dari hulu saja atau hilir saja, namun keduanya. Yang terpenting, adanya kebijakan yang berpihak pada petani muda dan kerja sama multi pihak yakni, pemerintah, lembaga, perguruan tinggi, swasta, dan lembaga keuangan.[](nana.red.uns.ac.id)

Skip to content