Dosen Arsitektur UNS Bagikan Inspirasi dalam Siaran RRI Surakarta

UNS-Dosen Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik (FT) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta membagikan inspirasi melalui siaran interaktif Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta pada Rabu (3/6/2020). Siaran yang dipandu oleh Ridho Wicaksono menghadirkan Dr. Titis Srimuda Pitana, dosen Arsitektur FT UNS yang saat ini juga menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni FT UNS.

Saat ini karena pandemi Covid-19 sedang melanda, seluruh aktivitas dilaksanakan di dalam rumah, termasuk sekolah dan bekerja. Dalam tatanan baru atau new normal yang akan dihadapi, bisa saja bekerja di rumah akan menjadi tren. Salah satu profesi yang menjanjikan untuk bisa bekerja di rumah yaitu arsitek.

Dalam program Belajar di RRI kelas Inspirasi, Dr. Titis membagikan pengalaman saat menjadi mahasiswa Arsitektur. Program ini memang bertujuan untuk memberikan informasi serta wawasan bagi pendengar yang ada di rumah. Teman-teman generasi milenial yang akan memilih kampus harus direncanakan karena semua keputusan merupakan langkah untuk menuju sukses di masa depan.

“Saya juga dulu mengalami hal yang sama, bingung untuk menentukan pilihan. Kemudian saya memilih Arsitektur karena sangat asyik ketika gambar kita diwujudkan dalam sebuah bangunan yang nantinya akan menjadi representasi atau monumen dari diri kita,” ungkapnya.

Dulu, banyak yang beranggapan bahwa kuliah Arsitektur itu mahal dan memakan banyak biaya untuk membeli berbagai perlengkapan penunjang. Namun, hal tersebut dapat dipecahkan oleh Dr. Titis, Ia bahkan membuat sendiri meja gambar menggunakan triplek. Selain itu, kemampuan desain bangunan yang dimiliki tidak disia-siakan, ia menganggap bahwa kuliah di Arsitektur akan mendatangkan rezeki.

“Saat kuliah kami diajarkan gambar teknik, bagaimana membuat gambar-gambar secara detail. Itu bisa kita pakai untuk mencari uang, dulu saya menerima gambar kerja dari perusahaan atau konsultan-konsultan. Jadi di waktu luang kita menggambar desain atau pekerjaan dari klien yang dapat menghasilkan uang sekaligus mengasah keterampilan menggambar,” paparnya.

Dalam melakukan pekerjaan, seorang arsitek tidak dapat bekerja sendiri. Saat desainnya diwujudkan dalam bangunan, maka harus melibatkan berbagai rumpun keilmuan seperti teknik sipil, teknik mesin serta teknik elektro. Oleh karena itu, arsitek harus bisa menjadi leader agar mampu mengkolaborasikan berbagai bidang keilmuan.

Prodi Arsitektur sendiri selama pandemi telah menyumbangkan keahliannya dalam wujud pembuatan Alat Pelindung Diri (APD) berupa face shield yang didistribusikan bagi fasilitas kesehatan.
“Arsitek tentu sudah terbiasa dalam membuat miniature bangunan. Lalu kita manfaatkan kelebihan tersebut untuk membuat face shield, saat ini sudah lebih dari 3.000 face shield yang kami distribusikan. Hingga saat ini, kami juga masih memproduksi,” ungkap Titis.

Dr. Titis saat ini juga menjabat sebagai anggota Tim Ahli Bangunan Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta dan ketua Tim Ahli Cagar Budaya Pemkot Surakarta. Seorang arsitek juga bekerja di cagar budaya karena banyak bangunan bersejarah yang harus dipertahankan. Upaya pemeliharaan, pelestarian, konservasi, dan rehabilitasi juga memerlukan ilmu arsitektur.

Dalam sesi akhir bincang interaktif tersebut dibuka forum tanya jawab melalui telepon. Salah seorang penelepon, Jarkoni menanyakan mengenai desain pemasangan batu paving yang berada di Jalan Jenderal Sudirman, Solo. Jarkoni mengungkapkan bahwa paving tersebut menjadikan orang yang melintas kurang nyaman karena tidak halus seperti aspal.

Dr Titis menjelaskan bahwa Jalan jenderal Sudirman didesain seperti itu karena merupakan kawasan titik nol, kawasan cagar budaya yang masuk dalam Kawasan Budaya Keraton.
“Diharapkan orang yang melintas akan pelan-pelan, kalau perlu kawasan tersebut bebas dari kendaraan bermotor. Hampir semua bangunan yang berada di sepanjang Jalan jenderal Sudirman merupakan bangunan cagar budaya, seperti Bank Indonesia, Kantor Pos, Gereja, Tugu Pamandengan, hingga Keraton. Harapannya supaya bisa menikmati nilai-nilai yang ada dari peninggalan sejarah di kawasan tersebut,” jawabnya.

Konsep penataan jalan Jenderal Sudirman yang diganti menjadi batu andesit memang membuat beberapa orang yang melintas menjadi kurang nyaman. Desain tersebut ternyata memiliki makna tersendiri yakni agar pelintas mampu menikmati kawasan cagar budaya. Humas UNS/Bayu

Skip to content