Dosen dari Kyushu University Bagikan Pengalaman Riset Lapangan Lintas Negara di UNS

Dosen dari Kyushu University Bagikan Pengalaman Riset Lapangan Lintas Negara di UNS

UNS — Urban Rural Design & Coservation (URDC) Labo Program Studi (Prodi) Arsitektur Fakultas Teknik (FT) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta mengadakan Kuliah Tamu, Kamis (5/10/2023). Kegiatan ini merupakan kerja sama Interdisciplinary Graduate School of Engineer Science (IGSES) Kyushu University, Jepang.

Narasumber yang dihadirkan yaitu Prof. Dr. Eng. Aya Hagishima dari Urban Environmental Science, IGSES Kyushu University. Dalam sesinya, Prof. Aya menyampaikan materi mengenai ‘Sustainable Horizons: Field Investigations into Asian Built Environments’.

Prof. Aya berbagi pengalaman riset dan implementasi kebijakan yang ada di Jepang meliputi rumah dan bangunan tanpa energi serta emisi CO2 dari produksi material dan konstruksi. Beliau turut memaparkan hasil survey lapangan yang telah dilakukannya di berbagai negara seperti Mongolia, India, Malaysia, dan juga Indonesia.

Di Jepang sendiri, sebanyak 31,8% emisi CO2 berasal dari sektor pembangunan baik itu domestik maupun bisnis. Jepang juga menempati posisi tertinggi dalam pemasangan Photovoltaic (PV) yakni 426 kW/km2.

“Pada bangunan yang dijadikan tempat tinggal, penerapan Zero-Energi House (ZEH) menjadikan konsumsi energi tahunan sama dengan produksi listrik tahunan. Pemasangan PV di atap rumah juga tidak mengurangi kenyamanan kehangatan dalam ruangan,” jelas Prof. Aya.

Sedangkan pada bangunan non tempat tinggal, masih memiliki tantangan tersendiri dalam penerapannya. Bangunan tinggi di Jepang dengan Zero-Energy Building (ZEB) melakukan pengurangan penggunaan AC melalui desain pasif. Hal ini dilakukan dengan membuat selubung insulasi yang tinggi, pembuatan peneduh pancaran matahari langsung, penambahan ruang pencahayaan alami, serta ventilasi alami.

Lalu, apakah teknologi ZEB & ZEH yang telah diterapkan di Jepang dapat disebarkan ke seluruh dunia? Menurut Prof. Aya, hal tersebut mungkin tidak bisa dilakukan. Masing-masing wilayah di dunia memiliki kondisi yang berbeda.

“Hal ini berkaitan erat dengan iklim, ekonomi, budaya, dan sistem konstruksi yang digunakan,” ujarnya.

Meskipun demikian, proyek yang sedang berjalan atau baru-baru ini telah memiliki tujuan untuk membangun lingkungan yang berkelanjutan di berbagai negara. Contohnya saja di Kota Solo yang sedang mengupayakan peningkatan kualitas hidup di beberapa daerah, khususnya yang masih tergolong daerah kumuh. Malaysia sedang melakukan serangkaian penelitian yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan binaan yang cerdas dan sejuk yang disesuaikan dengan iklim tropis. Mongolia sedang melakukan peningkatan isolasi termal perumahan sementara tradisional untuk habitat perkotaan.

Berdasarkan riset lapangan di Kota Solo, Prof. Aya menemukan fakta adanya permukiman informal perkotaan yang terbangun serta lingkungan fisik dalam ruangan yang mungkin memiliki masalah. Hal tersebut kemudian diteliti menggunakan pengukuran kondisi termal dalam ruangan serta kuesioner kondisi kesehatan.

“Hasilnya, terdapat beragam kondisi dalam ruangan di antara rumah-rumah dan risiko tinggi terkena penyakit tertentu,” terang Prof. Aya.

Dari studi lapangan yang telah dilakukan di banyak negara, Prof. Aya menemukan permasalahan yang serupa. Terdapat kurangnya kualitas hidup dan resiliensi masyarakat. Risiko kesehatan masyarakat di lingkungan binaan karena polusi udara, suhu tinggi, dan permasalahan higienitas. Serta adanya keterbatasan sumber keuangan.

Hal ini tentunya dapat diatasi dengan pendekatan yang menyentuh akar permasalahan. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan diharapkan dapat mengerti kondisi nyata masyarakat melalui survei lapangan. Penerapan teknologi tepat guna dapat menjadi rekomendasi karena mudah dan murah. Terakhir, dapat pula dilakukan pendekatan yang komprehensif untuk menciptakan lingkungan tinggal yang sehat.

Humas UNS

Reporter: R. P. Adji

Redaktur: Dwi Hastuti

Skip to content