Dosen FSRD UNS, Gus Pur: Mencintai dan Menghargai Alam Lewat Wayang Godhong

Dosen FSRD UNS, Gus Pur: Mencintai dan Menghargai Alam Lewat Wayang Godhong

UNS — Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Agus Purwantoro atau kerap disapa Gus Pur merupakan seorang dalang yang ikonik dengan Wayang Godhong. Wayang Godhong sendiri ia cetuskan pada tahun 2010 ketika ia sedang mengerjakan disertasi tentang petani tembakau. Awalnya, Gus Pur memiliki kesadaran untuk bisa mengangkat harkat dan martabat para petani lewat seni rupa yang menjadi bidangnya. Ia pun memiliki cerita yang cukup unik tentang “perjumpaan” pertamanya dengan daun yang kemudian menjadi asal-usul Wayang Godhong.

“Kebetulan secara tidak sengaja saya sedang nyapu, kemudian dedaunan itu saya terawang di malam hari. Saya lihat daun itu tinggal serat-serat saja. Tuhan menciptakan ini, dan ketika melihat itu saya merasa tidak mampu menandingi kuasa Ilahi. Merinding saya,” cerita Gus Pur.

Gus Pur bercerita tentang bagaimana Wayang Godhong pada akhirnya menjadi ciri khasnya. Saat itu ia sering berkeliling di desa-desa untuk bertemu dengan para petani. Dari pertemuan-pertemuan tersebut Gus Pur ingin memiliki bahasa sendiri untuk bisa disampaikan kepada para petani tembakau.

“Saya ingin punya bahasa sendiri, bahasa visual. Akhirnya saya buat itu, Wayang Godhong. Tapi orang gunung itu nggak mau menyebut Wayang Godhong, (mereka menyebutnya) Wayang Mbako (tembakau). Kemudian saya mulai diminta pentas-pentas. Nah, sejak itu mulai digemari orang hingga saat ini,” ujarnya.

Dosen FSRD UNS, Gus Pur: Mencintai dan Menghargai Alam Lewat Wayang Godhong

Meskipun demikian, Wayang Godhong bukan sekadar hasil dari “perjumpaan” saat menyapu tadi. Gus Pur mengaku, ia juga melakukan riset untuk menemukan filosofi daun yang ia gunakan sebagai dasar dari pertunjukan Wayang Godhong. Filosofi tersebut menurut Gus Pur adalah suatu gambaran tentang sikap berdoa dan memohon. Selain itu, daun yang jatuh juga atas seizin Tuhan dan akan bermanfaat selamanya sekalipun kita sudah tiada.

“Daun itu bertasbih, dia berdzikir. Bahkan daun yang jatuh saja, itu kehendak Yang Di Atas. Dan ketika sudah tua dan jatuh ia jadi kesuburan, jadi pupuk. Godhong itu bisa disebut dari wit-witan. Wit-witan itu Kawitan, artinya pertama kali, asal mula kehidupan, ya dari pohon. Kita mungkin umurnya pendek, tapi daun ini sepanjang masa dan tetap ada,” terangnya.

Lebih lanjut, Gus Pur mengatakan jika daun-daun bisa mendengar serta merekam apa yang kita bicarakan. “Apa yang kita bicarakan, daun itu mendengar, merekam tanpa loading,” tambah Gus Pur.

Bentuk Protes Gus Pur dalam Pertunjukkan “Memedi Beringin Ninggal Janji”

Pertunjukkan ini merupakan salah satu pertunjukan yang turut memeriahkan Dies Natalis Ke-8 FSRD. “Memedi Beringin Ninggal Janji” jadi media Gus Pur berprotes terkait penebangan pohon beringin FSRD yang dilakukan pada 2019 lalu setelah adanya angin ribut yang menyebabkan pohon beringin tersebut tumbang.

“Waktu itu (pohon beringin) dipotong saya marah, (kemudian) saya bikin puisi. Karena bagi saya mengajar satu yang sederhana, (yaitu) oksigen yang keluar dari pohon itu,” tutur Gus Pur.

Pohon beringin yang terletak di depan Gedung 4 FSRD ini memang sering digunakan Gus Pur untuk mengajar di sesi perkuliahan. Hal ini membuat pohon beringin FSRD sering disebut sebagai “Tahta Gus Pur”.

Tak hanya sebagai protes, melalui pertunjukkan “Memedi Beringin Ninggal Janji”, Gus Pur ingin mengingatkan serta mengajak generasi sekarang untuk kembali mensakralkan alam, khususnya sumber mata air. Tema ini juga ia pilih berdasarkan tema besar konservasi sungai.

Dosen FSRD UNS, Gus Pur: Mencintai dan Menghargai Alam Lewat Wayang Godhong

“Tema besarnya kan konservasi sungai, jogo kali namanya. Sekarang ini di mana-mana mata air hampir punah dan butuh konservasi ala seni rupa. Dari riset yang saya lakukan ada 12 sumber mata air yang terbengkalai. Mau jadi apa 10 tahun lagi? Mati itu semua. Untuk itu harus dibuat sakral lagi mata air sekarang,” jelas Gus Pur.

Ia menambahkan, saat ini ia sudah melakukan instalasi di berbagai sumber mata air sebagai upaya mensakralkan mata air tersebut. Gus Pur menginginkan agar sumber mata air dirawat lagi.

Pertunjukan “Memedi beringin Ninggal Janji” juga menyuguhkan seni action painting. Action painting dipilih Gus Pur karena menurutnya lukisan itu abadi.

“Produk dari pertunjukkan itu adalah karya lukis karena itu lebih abadi dan itu bisa dijual untuk membiayai restorasi sungai-sungai,” pungkasnya. Humas UNS

Reporter: Adisti Daniella

Skip to content