Dosen Psikologi UNS Berikan Pemahaman Penanganan Psikologis Kasus Kekerasan Seksual

Dosen Psikologi UNS Berikan Pemahaman Penanganan Psikologis Kasus Kekerasan Seksual

UNS — Dosen Program Studi (Prodi) Psikologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta memberikan pemahaman penanganan psikologis kasus kekerasan seksual. Berliana Widi Scarvanovi, M.Psi., Psikolog menjadi salah satu narasumber dalam Seminar Inisiasi Advokasi Perempuan (SIAP). Kegiatan berlangsung secara daring melalui Zoom Cloud Meeting pada Jumat (30/4/2021). Antusiasme terlihat dimana kegiatan tersebut diikuti lebih dari 180 peserta yang mayoritas merupakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNS selaku inisiator kegiatan patut mendapat apresiasi atas terselenggaranya kegiatan ini.

Dipandu oleh punggawa Kementrian Pemberdayaan Perempuan BEM UNS, Putri Septiara  Tauladani, Berliana menyampaikan materi mengenai penanganan psikologis kasus kekerasan seksual. Dalam penjelasannya, kekerasan seksual didefinisikan sebagai bentuk paksaan seksual dimana seseorang menjadikan orang lain sebagai sasaran dari komentar, ajakan, gerak, kontak fisik, atau permintaan langsung yang tidak dikehendaki pihak tersebut untuk memperoleh keuntungan seksual. Berliana pun menjelaskan bahwa kekerasan seksual memiliki definisi yang lebih luas untuk perempuan dibandingkan laki-laki. Hal inilah yang sekiranya menjadi penyebab kekerasan seksual lebih banyak terjadi pada perempuan.

Kekerasan seksual akan menimbulkan reaksi yang beragam pada korban. Berliana menyampaikan beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi korban diantaranya keparahan kejadian, pengalaman tentang peristiwa serupa, dukungan yang didapat, permasalahan kesehatan mental pribadi dan keluarga, serta latar belakang kultur dan tradisi. Hal ini dapat menjadi pertimbangan dalam pemberian pertolongan dan perlakuan agar korban dapat merasa lebih aman.

Pertolongan psikologis yang diberikan secara tepat bertujuan untuk membuat korban merasa lebih aman, terhubung dengan orang lain, dan memiliki harapan. Selain itu, pertolongan yang diberikan dapat membantu korban mendapatkan dukungan sosial dan emosional. Hal lain yang menjadi fokus utama adalah pemberdayaan korban agar mampu mengatasi permasalahan tersebut apabila muncul kembali. Berliana juga menyoroti pentingnya keberadaan peer conselor hadir bagi korban kekerasan seksual.

Peer conselor ini penting sekali. Meskipun dalam kasus-kasus tertentu harus diserahkan kepada orang yang lebih profesional. Tetapi ini akan membantu diawal kalau ada peer conselor untuk menangani kekerasan seksual,” tutur Berliana.

Memasuki tengah-tengah sesi pemaparannya, Berliana menambahkan bahwa sistematika pemberian bantuan psikologis dapat dilakukan oleh para peserta yang hadir. Salah satu yang menjadi kunci adalah sabar dan tenang. Korban tidak selalu akan menceritakan langsung semua yang dialami kepada orang lain. Pemberian jarak nyaman serta mendengarkan secara aktif menjadi hal yang dapat mempertahankan korban agar terus bercerita. Perilaku empati, tidak berprasangka, dan menghormati privasi korban memberikan ruang kepada korban dan tidak juga merasa disalahkan. Pemberian pemahaman apabila korban merasa belum membutuhkan pertolongan masih dapat meminta bantuan di lain waktu untuk membantu meyakinkan korban bahwa mereka masih memiliki tempat untuk bercerita.

Dalam memberikan pertolongan tersebut, Berliana mengingatkan agar tidak menceritakan masalah korban kepada orang lain secara sembarangan. Anonimitas perlu untuk dijaga secara bijak.

“Boleh diceritakan dalam konteks tertentu, konteks akademik misalnya. Konteks diskusi misalnya teman-teman butuh masukkan dalam menghadapi kasus ini kemudian diskusi dengan orang yang lebih ahli, itu boleh diceritakan,” tutur Berliana.

Adapun batasan-batasan yang patut diperhatikan dalam memberikan bantuan psikologis. Berliana memberikan tiga hal yang dapat menjadi perhatian kepada para peserta kegiatan. Pertama, korban harus mau dibantu. Penolong hanya bisa menawarkan bantuan dan tidak bisa memaksakan untuk membantu. Kedua, perlu adanya kesadaran akan kemampuan diri. Hal ini berkaitan dengan batasan ketiga dimana apabila permasalahan yang muncul di luar kompetensi penolong dapat mencari supervisi atau rujuk ke profesional. Humas UNS

Reporter: Rangga Pangestu Adji
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content