Duplik FH UNS: Dapatkah Koruptor Dana Bansos Dijatuhi Hukuman Mati?

UNS — Clinical Legal Education (CLE) Fakultas Hukum (FH) Universitas Sebelas Maret (UNS) menggelar webinar Diskusi Dengar Pendapat Publik (Duplik) bertajuk “Jerat Pidana Korupsi Dana Bansos di Masa Pandemi: Ketok Palu Hukuman Mati Sesuai HAM dan atau Konstitusi” melalui Zoom Cloud Meeting, Sabtu (23/1/2021) pagi.

Webinar ini digelar untuk menanggapi ramainya pro kontra hukuman mati bagi koruptor usai mantan Menteri Sosial Kabinet Indonesia Maju, Juliari Batubara, ditetapkan sebagai tersangka korupsi dana Bansos Covid-19 oleh KPK.

Dalam kesempatan ini, CLE FH UNS secara khusus mengundang 2 narasumber untuk mengulas tajuk yang dibahas. Mereka adalah Munafrizal Manan (Wakil Ketua Internal Komnas HAM) dan Dr. Muhammad Rustamaji (Kepala Program Studi (Kaprodi) Ilmu Hukum FH UNS).

Munafrizal Manan sebagai pembicara pertama menyampaikan materinya tentang “Hukuman Mati dalam Perspektif HAM”. Dalam paparannya, ia terlebih dulu menerangkan bahwa dalam HAM hak hidup merupakan hak paling fundamental yang dimiliki manusia.

“Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) secara eksplisit menyebutkan, ‘Everyone has the right to life’ yang dipertegas dalam HAM. Kemudian, jaminan tentang hak hidup dalam instrumen HAM ini dipertegas lagi dalam Pasal 6 (1) Internasional Covenant Civil and Politic Rights (ICCPR),” ujar Munafrizal Manan.

Munafrizal Manan mengatakan hak hidup merupakan mahkota HAM karena dikategorikan sebagai non-derogable right, yaitu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

“Hak hidup disebut sebagai supreme right yang tidak boleh dikurangi dalam konteks darurat sekalipun, tidak boleh dikurangi. Dan, negara dibebankan positive obligation untuk melindungi dan memastikan hak hidup,” lanjutnya.

Berkaitan dengan pro kontra hukuman mati bagi koruptor, Munafrizal Manan mengatakan hukum internasional belum melarang secara mutlak penerapan hukuman mati yang berlaku mengikat bagi semua negara di dunia.

Penerapan hukuman mati yang masih diterapkan di sejumlah negara, disebut Munafrizal Manan, hanya diperuntukkan bagi pelanggaran hukum berat, seperti narkoba dan korupsi. Ia juga mengutarakan penerapan hukuman mati tidak berlaku bagi anak-anak, perempuan hamil, dan orang dengan gangguan jiwa.

Namun, di tengah pro kontra hukuman mati bagi koruptor, Munafrizal Manan mengatakan penerapan hukuman mati bukanlah keputusan yang paling bijak.

Sebab, dalam beberapa kasus masih ditemui orang yang dihukum mati ternyata tidak bersalah atau jika seseorang bersalah, hukuman yang pantas bukanlah hukuman mati (fallibility of criminal justice system).

Menyambung pemaparan Munafrizal Manan, Dr. Muhammad Rustamaji menyampaikan materinya yang membahas soal Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap penerapan hukuman mati.

Ada 3 Putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi perhatian Dr. Muhammad Rustamaji. Seperti Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007, tanggal 30 Oktober 2007 yang telah memberikan pertimbangan hukum terhadap Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

Putusan MK tersebut keluar usai Edith Yunita Sianturi, dkk selaku para pemohon mengajukan permohonan Pengujian UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap UUD 1945.
“Selain itu bahasan pertama juga menyangkut Putusan MK Nomor 15/PUU-X/2012 dan No. 107/PUU-XIII/2015,” jelasnya.

Ia mengatakan berdasar Putusan No. 107/PUU-XIII/2015, MK menghapus berlakunya Pasal 7 ayat (2) tentang Perubahan Atas tentang Grasi terkait pembatasan waktu pengajuan grasi ke presiden.

“Artinya, MK membebaskan terpidana mengajukan permohonan grasi kapan saja. Putusan ini mengubah aturan sebelumnya, pengajuan grasi dilakukan paling lambat setahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap,” pungkasnya. Humas UNS

Reporter: Yefta Christopherus AS
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content