Ekranisasi Awal: Mengalihkan Novel Menjadi Film di Hindia Belanda

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (FIB UNS) Surakarta menggelar kuliah umum bertema “Ekranisasi Awal: Mengalihkan Novel Menjadi Film di Hindia Belanda”, Jumat (29/4/2016). Kuliah ini diselenggarakan di Ruang Sidang II Gedung 3 FIB UNS. Dengan mengangkat tema ekranisasi, kuliah ini menghadirkan seorang mahasiswa doktoral Universitas Gadjah Mada (UGM), Christopher A. Woodrich. Christopher atau yang biasa dipanggil Chris, mengajukan thesis mengenai ekranisasi di Hindia Belanda ketika menempuh jenjang studi S-2. Chris mengarahkan fokus studinya untuk mengkaji novel dan film, khususnya di wilayah yang masih sarat pemikiran Hindia Belanda, Melayu Kuno, dan Tionghoa.

Christopher A. Woodrich ketika paparkan presentasinya mengenai ekranisasi di Hindia Belanda di Ruang Sidang II Gedung 3 FIB UNS, Jumat (29/4/2016).
Christopher A. Woodrich ketika paparkan presentasinya mengenai ekranisasi di Hindia Belanda di Ruang Sidang II Gedung 3 FIB UNS, Jumat (29/4/2016).

Ekranisasi sendiri berasal dari 2 istilah yakni ekran dan isasi. Ekran berasal dari Bahasa Prancis yang berarti layar, sedangkan isasi adalah sebuah proses. Dapat diartikan bahwa ekranisasi adalah proses menjadi sesuatu yang ditayangkan di layar (filmisasi). Lebih spesifiknya lagi, ekranisasi dapat dikatakan sebagai proses pembuatan film dari berbagai media seperti novel, cerpen, lagu, legenda, drama, dan lain sebagainya. Dalam kesempatan itu, Chris membahas mengenai fenomena awal ekranisasi di Indonesia dengan munculnya film-film zaman dahulu seperti Njai Dasima, Lutung Kasarung, Eulis Atjih, dan Siti Noerbaja. Meski film-film tersebut kini memilki akses yang tergolong sulit (karena tidak diproduksi lagi), Chris mengatakan bahwa film-film itulah benih munculnya fenomena ekranisasi di Indonesia. Menurut Chris, masukan dari kritikus dan berbagai pendekatan sangat diperlukan dalam ekranisasi suatu media menjadi film. Pendekatan yang umum digunakan saat ini adalah pendekatan sosio-kultural dengan menyoroti berbagai fenomena sosial dan budaya di masyarakat.

Dewasa ini, fenomena ekranisasi sudah sangat umum di dunia perfilman Indonesia. Survei yang dilakukan Chris menunjukkan bahwa 7 dari 15 film dengan tingkat keberhasilan tinggi di Indonesia merupakan film yang diadaptasi dari novel contohnya adalah Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, Sang Pemimpi, dan 5cm. Hal ini dikarenakan sudut pandang penonton juga mempengaruhi dimana penonton sudah “familiar” dengan cerita-cerita tersebut.

Seperti yang dikatakan ketua panitia kuliah umum tersebut, Dwi Susanto bahwa banyak hal yang bisa terus dikaji dari dunia perfilman. Oleh karena itu, Dwi Susanto mengimbau agar mahasiswa senantiasa terus meng-explore untuk menghasilkan karya sastra baru yang segar dan inovatif. “Sastra bisa dimana saja, kapan saja. Namun, sastra tak hanya sekedar di atas kertas, sastra ada di berbagai media yang kita temui,” ujar Chris menutup kuliah umum.[] (anggiayu.red.uns.ac.id)

Skip to content