Erupsi Gunung Merapi, Pakar Paru UNS Ingatkan Bahaya Abu Vulkanik

UNS – Gunung Merapi kembali erupsi, Selasa (3/3/2020) pagi pukul 05.22 WIB. Berdasarkan pantauan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta. Erupsi Gunung Merapi tercatat di seismogram dengan amplitudo 75 mm dan terjadi selama 450 detik. Selain itu, erupsi juga mengakibatkan munculnya kolom abu setinggi 6.000 meter dari kawah dan awan panas dengan jarak maksimal 2 kilometer ke arah hulu Kali Gendol.

Beberapa wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Klaten, Solo, Sukoharjo, dan Karanganyar menjadi daerah yang terdampak hujan abu vulkanik Gunung Merapi. Di kawasan kampus utama Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, hujan abu sudah mulai dirasakan terlihat pada mobil dan motor yang terparkir mulai tertutupi lapisan tipis dari hujan abu vulkanik.

Menanggapi hujan abu vulkanik yang terjadi pagi ini, pakar paru UNS yang juga Dekan Fakultas Kedokteran (FK) UNS, Dr. Reviono, dr., Sp. P(K) mengatakan bila masyarakat patut berhati-hati. Himbauan tersebut ia katakan sebab debu vulkanik dari hasil letusan gunung berapi ukurannya sangat kecil, yaitu kurang dari 2µm dan mengandung sejumlah kandungan berbahaya yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi pernapasan.

“Jadi, kalau debu dari abu vulkanik debunya lembut sehingga bisa masuk. Ada kandungan seperti silika, besi, asbes, dan sulfur. Kalau itu bisa masuk maka paru-paru bisa radang bila jumlahnya besar dan juga bisa mengakibatkan kemampuan menyaring oksigen di alveolus menjadi berkurang,” ujar Dr. Reviono saat dihubungi uns.ac.id, Selasa (3/3/2020).

Selain kandungan abu vulkanik yang disebutkan Dr. Reviono, masih terdapat unsur mayor, seperti aluminium dan kalium dan kandungan-kandungan kimia, seperti silikon dioksida (55 persen), aluminium oksida (18 persen), besi oksida (18 persen), kalsium oksida (8 persen), dan magnesium oksida (2,5 persen).

Dr. Reviono mengatakan apabila debu vulkanik sudah mencapai batas maksimal maka masyarakat disarankan untuk tetap tinggal di dalam rumah dan menghindari beraktivitas di luar ruangan. Batas maksimal kualitas udara yang dibutuhkan manusia yang dimaksud Dr. Reviono adalah 150 µgram/m3.

Untuk mengurangi gangguan saluran pernapasan akibat abu vulkanik, Dr. Reviono menyarankan agar masyarakat menggunakan masker saat berada di luar rumah. Selain langkah pencegahan dengan masker, cara lain yang bisa dilakukan agar abu vulkanik tidak masuk ke dalam rumah adalah dengan memasang kawat kasa di jendela atau ventilasi udara.

“Satu-satunya cara yang paling efektif adalah pakai masker minimal seperti masker bedah. Kalau di rumah ada penyaring udara (kawat) kasa di jendela,” lanjutnya

Menanggapi harga masker yang melambung tinggi dan jumlahnya yang sangat terbatas, Dr. Reviono mengatakan bila masyarakat masih dapat melakukan cara lain untuk melindungi saluran pernapasan mereka dari abu vulkanik selain menggunakan masker. Caranya adalah dengan menggunakan sapu tangan yang telah dibasahi dengan air. Meski ia mengatakan cara tersebut tidak terlalu efektif karena pori-pori kain ukurannya lebih besar, namun cara tersebut bisa digunakan sebagai alternatif saat stok masker langka.

Apabila masyarakat memaksakan diri untuk beraktivitas di luar ruangan saat hujan abu vulkanik, Dr. Reviono khawatir saluran pernapasan akan mengalami infeksi. Infeksi yang disebut Dr. Reviono meliputi infeksi akut dan kronis.

“Jangka pendek/ akut saluran napas bisa bronkitis. Gejalanya batuk kering di awal-awal dan keluar dahak. Kalau sudah terinfeksi dahak akan berwarna kuning. Itu terjadi karena ada kuman. Kuman bisa dikeluarkan lewat bulu getar bila sudah ada infeksi. Kalau kronis itu terjadi secara terus-menerus. Di awal-awal tidak ada apa-apa tapi justru itu berbahaya,” jelas Dr. Reviono.

Apabila dirasa saluran pernapasan terganggu, ada sejumlah obat yang bisa dikonsumsi untuk mengobati infeksi saluran pernapasan tersebut. Seperti antioksidan dan antiradang. Humas UNS/Yefta

Skip to content