Gelar Kuliah Umum, Hakim MK Dorong Mahasiswa FISIP UNS Pahami Desain Konstitusi

Gelar Kuliah Umum, Hakim MK Dorong Mahasiswa FISIP UNS Pahami Desain Konstitusi

UNS — Mahkamah Konstitusi (MK) RI menggelar kuliah umum bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jumat (3/12/2021). Acara ini digelar secara hibrida di Ruang Sidang FISIP UNS dan Zoom Cloud Meeting.

Dengan mengangkat tajuk “Peran dan Tantangan MK dalam Mewujudkan Hukum dan Politik yang Demokratis”, Wakil Ketua MK, Prof. Aswanto dan Hakim MK, Prof. Sardi Isra yang hadir sebagai pembicara mendorong mahasiswa FISIP UNS untuk memahami desain konstitusi Indonesia.

Meski bahasan soal ketatanegaraan negara umumnya dibahas di Fakultas Hukum (FH) , namun pemahaman soal konstitusi juga penting diketahui mahasiswa FISIP karena dalam proses peradilan di MK, tetap membutuhkan dasar pertimbangan lintas ilmu.

Tidak hanya itu, mahasiswa FISIP UNS juga didorong memahami konstitusi agar mengetahui pembagian antarcabang kekuasaan, fungsi, dan tugas lembaga negara yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

“Mahasiswa di masing-masing program studi itu harus tahu betul dengan bagaimana konstitusi beroperasi di sebuah negara. Konstitusi itu memberikan potret minimalis bangunan negara. Jadi harus baca di konstitusinya bentuk negara, bentuk pemerintahan, hubungan antarlembaga negara, dan hubungan negara dengan warga negaranya,” ujar Prof. Sardi Isra.

Dalam hal ini, Prof. Sardi Isra menerangkan, pembahasan soal konstitusi tidak hanya menyangkut soal hukum saja, namun juga erat kaitannya dengan politik suatu negara.

Ia mencontohkan, bahwa konstitusi secara langsung akan bergesekan dengan politik dan hal ini memerlukan prinsip “check and balance” untuk menyeimbangkan antara hukum dengan kekuasaan.

“Oleh karena itu, harus diantisipasi mendesain lembaga lain yang kemudian bisa mengerem lembaga-lembaga tertentu untuk tidak bertindak yang berpotensi melanggar konstitusi,” terangnya.

Karena urgensi itu, maka dua tahun pascareformasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan amandemen terhadap UUD 1945, yang salah satu poin perubahannya adalah memasukkan MK sebagai lembaga negara baru.

Pendirian MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman merupakan adopsi dari Constitutional Court yang dilakukan oleh MPR pada tahun 2001.

Masuknya MK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia dirumuskan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 November 2001.

“Salah satu pertimbangan sehingga Mahkamah Konstitusi dibentuk adalah antara lain seringkali terjadi di atau dibentuk undang-undang yang substansinya tidak sinkron dengan norma atau substansi yang ada di dalam UUD,” ujar Prof. Aswanto.

Gelar Kuliah Umum, Hakim MK Dorong Mahasiswa FISIP UNS Pahami Desain Konstitusi

Di hadapan mahasiswa FISIP UNS yang mengikuti jalannya kuliah umum, Prof. Aswanto mengatakan peran MK di era reformasi ini semakin penting sebagai penyeimbang antara kekuasaan eksekutif dan legislatif.

Baginya, dua cabang kekuasaan ini tidak boleh saling mendominasi atau menjatuhkan karena akan berakibat pada stabilitas politik Indonesia.

Misalnya saja dalam hal pemakzulan Presiden dan/ Wakil Presiden RI yang sebelum reformasi memang sudah diatur dalam UUD 1945.

Baginya, wacana untuk memakzulkan Presiden dan/ Wakil Presiden tetap membutuhkan pertimbangan hukum ketatanegaraan dan tidak bisa semata-mata didasarkan karena kepentingan politik.

“Kalau misalnya antara DPR dengan Presiden memang ada ketidak harmonisan, banyak Presiden nanti yang jatuh di tengah jalan. Oleh sebab itu, perlu sebuah lembaga yang menilai apa yang diputuskan oleh DPR apakah memang benar Presiden melakukan pelanggaran,” tambahnya.

Tidak hanya itu, lanjutnya, keberadaan MK semakin penting untuk memastikan bahwa tidak ada undang-undang (UU) yang dibentuk namun substansinya bertentangan dengan UUD 1945.

Seperti yang baru-baru ini terjadi kala MK memutus UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Dalam amar putusannya, MK menyebut tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan UU.

Kemudian, dalam pembentukan UU ini, juga terjadi perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden.

“Kalau penyelesaiannya diserahkan kepada pembentuk UU secara manusiawi biasanya yang membentuk itu sekalipun ada kekeliruan dia akan tetap mempertahankan. Itulah sebabnya perlu ada sebuah lembaga yang bisa menguji apakah UU yang dibentuk itu sinkron adengan UUD 1945,” pungkas Prof. Aswanto,” pungkasnya. Humas UNS

Reporter: Y.C.A. Sanjaya
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content