Gubes UNS Soroti Konflik Israel-Palestina

UNS — Prof. Istadiyantha selaku Guru Besar Kajian Timur Tengah Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menyoroti konflik antara Israel dan Palestina yang telah terjadi selama lebih dari tujuh dekade. Konflik yang berlangsung terus menerus tersebut telah menimbulkan banyak korban jiwa termasuk warga sipil Palestina. Oleh karena itu, Prof. Istadiyantha mendorong terjadinya perdamaian antara Negara Israel dan Palesitina

“Israel dan Palestina, berdamailah demi kemanusiaan,” ungkap Prof. Istadiyantha melalui diskusi Seminar Nasional yang diselenggarakan pada Kamis (27/5/2021).

Apabila dilihat melalui pendekatan sejarah, bangsa Israel merupakan keturunan dari bangsa-bangsa yang hebat, yakni keturunan dari Nabi Ibrahim as. Berdasarkan silsilah, Nabi Ibrahim as memiliki dua anak yaitu Ismail dan Ishaq. Ishaq memiliki putra yang bernama Ya’qub atau sering dikenal dengan Israel. Bahkan Prof. Istadiyantha juga mengungkapkan bahwa kepintaran bangsa Israel dibuktikan dengan upayanya untuk memasuki wilayah Palestina dengan cara membeli tanah di negara tersebut.

Setelah menduduki sebagian wilayah di Negara Palestina yang menjadi bagiannya, Yahudi melakukan imigrasi besar-besaran ke Palestina pada tahun 1849. Prof. Istadiyantha mengatakan bahwa pada tahun 1849 jumlah penduduk Yahudi di Palestina hanya sekitar 12.000 jiwa. Sementara pada tahun 1964, jumlah penduduk Yahudi telah mencapai hampir 3 juta jiwa.

Pendekatan historis juga dijelaskan oleh Abdul Wahid Maktub selaku Dubes RI untuk Qatar Periode 2003 – 2007 yang mengungkapkan bahwa peritiwa yang terjadi saat ini adalah akibat dari akumulasi masa lalu. Begitupun dengan apa yang terjadi di masa kini, akan berpengaruh bagi masa mendatang.

“Sejarah itu adalah berputar, kadang ada kalah dan kadang ada menang. Kadang muncul dan kadang tenggelam. Semua itu ada proses,” jelas Abdul Wahid Maktub.

Abdul Wahid Maktub mengatakan bahwa sebelum Perang Dunia I, dunia terdiri dari beberapa Kerajaan seperti Ottoman dan Inggris yang saling berebut wilayah kekuasaan. Pada masa itu, wilayah Timur Tengah masih berada di bawah Kerajaan Ottoman. Akan tetapi, berkembangnya zaman menimbulkan adanya perebutan kekuasaan yang dimenangkan oleh Kerajaan Inggris.

Kemenangan Kerajaan Inggris mengakibatkan wilayah Timur Tengah khususnya Palestina terbagi menjadi dua, yaitu Arab dan Israel. Meskipun sebagian muslim melakukan protes dan menolak membagi tanahnya kepada bangsa Yahudi, kekompakan bangsa Yahudi mampu mengalahkan bangsa Arab yang terpecah belah sehingga pada tahun 1948 Negara Israel resmi berdiri.

“Tentu ini menjadi awal yang harus dipelajari bahwa memang konstelasi geografi politik itu selalu berpuar dan berubah,” imbuh Abdul Wahid Maktub.

Dampak Peperangan Israel dan Palestina

Peperangan yang terjadi antara Israel dan Palestina telah merugikan kedua belah pihak, baik melalui kerusakan gedung dan bangunan hingga nyawa-nyawa yang melayang. Menurut informasi sementara dari Menteri Perumahan Hamas sebanyak 16.800 rumah susun rusak dan 1.800 tidak bisa dihuni kembali. Kerugian sementara bagi Israel juga diungkap oleh Perhimpunan Manufaktur Israel yang mengatakan bahwa nilai kerugian akibat aksi perang tersebut diperkirakan mencapai 166 juta US dolar atau 2,3 triliyun.

“Kalau kita dengar informasi Al Jazeera terakhir, ternyata pihak kongres Amerika Serikat memprotes supaya perang dihentikan karena biayanya terlalu tinggi dan biaya itu berasal dari Amerika,” tutur Prof. Istadiyantha.

Berkaitan dengan Era 5.0 yang merupakan revolusi industri dan telah disponsori oleh Jepang sebagai Era Kemanusiaan, banyak kelompok yang mendukung Era 5.0 sebagai Era Kemanusiaan. Era Kemanusiaan tidak mengenal ideologi, kelompok, dan tidak memilih suatu golongan tertentu. Bahkan Prof. Istadiyantha mengungkapkan bahwa Era Kemanusiaan tidak hanya menghormati sesama manusia, melainkan juga menghormati makhluk hidup lainnya.

“Oleh karena itu, kemanusiaan harus kita kumandangkan di Indonesia dan di berbagai negara,” imbuh Prof. Istadiyantha. Humas UNS

Reporter: Alinda Hardiantoro
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content