Guru Besar Hukum Perdata UNS Soroti Standar Profesi Advokat Indonesia

UNS – Guru Besar bidang Hukum Perdata Fakultas Hukum (FH) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof. Pujiyono, menyoroti ketidakseragaman standar profesi advokat di Indonesia. Hal tersebut disampaikannya dalam diskusi dan peluncuran buku “Kepastian Hukum Single Bar System Organisasi Advokat Indonesia”, Selasa (6/10/2020).

Dalam diskusi yang digelar oleh Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH UNS melalui Zoom Cloud Meeting, Prof. Pujiyono mengatakan pascaterbitnya Surat Ketua MA RI No. 73/KMA/HK.01/IX/2015 yang memberikan kewenangan bagi Ketua Pengadilan Tinggi (KPT) untuk melakukan penyumpahan terhadap advokat yang memenuhi syarat dari organisasi manapun, mengakibatkan jumlah advokat bertambah banyak.

“Sangat bertumbuh subur. Diyakini ada 30 organisasi advokat dan jumlah itu bisa bertambah saat ini. Yang menjadi kemudian karena bertambah dan organisasi butuh eksis, maka organisasi profesi berlomba-lomba untuk mendapatkan anggota. Ini membuat standar kualitas dari masing-masing anggota profesi berbeda-beda pula,” ucap Prof. Pujiyono.

Hal tersebut dikhawatirkan Prof. Pujiyono akan berdampak penurunan standar profesi dan kualitas profesionalisme advokat. Ia mengatakan intervensi untuk mengontrol standar profesi advokat sudah pernah diupayakan pemerintah. Salah satunya melalui Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) No.5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat (PPA).

Namun, Prof. Pujiyono menyayangkan adanya penolakan dari kalangan advokat terhadap dikeluarkannya Permenristekdikti tersebut. Padahal, Prof. Pujiyono menilai Permenristekdikti No.5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat (PPA) dapat meningkatkan kualitas dan kemampuan advokat. Berdasarkan Permenristekdikti tersebut, perguruan tinggi yang memiliki Program Studi (Prodi) Ilmu Hukum minimal terakreditasi B dapat menyelenggarakan PPA.

Selain melalui PPA, upaya menjaga standar profesi advokat juga dapat diusahakan melalui perilaku advokat yang teguh memegang kode etik. Bagi Prof. Pujiyono, kode etik merupakan hukum/ norma untuk menjalankan profesi termasuk dalam usaha membebankan kewajiban kepada setiap anggota untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, baik kepada klien, pengadilan, masyarakat, dan teman sejawat.

“Agar advokat tetap menjunjung nilai-nilai moral sebagai usaha menjaga advokat sebagai officium nobile sehingga dalam pelaksaanaannya butuh pengawasan. Pengawasan itu penting agar kode etik tidak menjadi death klausul,” terangnya.

Prof. Pujiyono yang juga Wakil Dekan bidang Akademik FH UNS, mengatakan pengawasan terhadap profesi advokat harus melibatkan peran masyarakat dan pemerintah. Dalam masyarakat, pengawasan secara kultural diharapkan mampu memberikan sanksi sosial bagi seorang advokat bila melakukan pelanggaran. Sedangkan, pengawasan oleh pemerintah dapat dilakukan dengan intervensi.

Dalam diskusi dan peluncuran buku ini, LKBH turut mengundang sejumlah pakar hukum. Mereka diantaranya Dr. Sapto Hermawan (Dosen Hukum Administrasi Negara FH UNS), Achmad, S. H., M. H (Doseh Hukum Tata Negara FH UNS), Dr. Bayu Dwi Anggono (Direktur Puskapsi FH Universitas Jember), Dr. Andina Elok Puri Maharani (Dosen Hukum Tata Negara FH UNS), dan Riska Andi Fitirono, S. H., M. H (Dosen Hukum Pidana FH UNS). Humas UNS

Reporter: Yefta Christopherus AS
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content