Search
Close this search box.

Haornas 2022, Mengenal Lebih Dekat Dekan FKOR UNS, Sosok di Balik Kesuksesan Atlet Para Badminton

UNS — Setiap tanggal 9 September diperingati sebagai Hari Olahraga Nasional (Haornas). Belum lama ini, Indonesia menjadi juara umum pada pesta olahraga disabilitas terbesar di Asia Tenggara, ASEAN Para Games 2022. Solo menjadi tuan rumah ajang dua tahunan ini. Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta juga turut berkontribusi dalam penyelenggaraan kompetisi olahraga ini, salah satunya dengan menyediakan tiga venue pertandingan.

Selain itu, UNS juga memiliki tokoh olahraga yang berperan di balik kesuksesan para atlet paralimpiade. Ia adalah Dr. Sapta Kunta Purnama, Dekan Fakultas Keolahragaan (FKOR) UNS. Ia telah mendampingi atlet-atlet parabadminton dalam berbagai pertandingan internasional. Dalam ajang Paralimpiade Tokyo 2020, Dr. Sapta Kunta sukses mendampingi Leani Ratri Oktila dan Khalimatus Sadiyah menyabet medali emas para badminton.

Dalam edisi kali ini, uns.ac.id berkesempatan untuk berbincang mengenai perjalanan Dr. Sapta Kunta atau yang kerap disapa Kunta dalam berkarier di dunia kepelatihan.

Kilas Balik

Dr. Sapta Kunta yang lahir di Boyolali pada 23 Maret 1968 ini awalnya ingin masuk jurusan Teknik Kimia. Namun, dalam proses seleksi, Ia lolos di Jurusan Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (JPOK) FKIP UNS. Ternyata, melalui prodi inilah Ia dapat menyalurkan hobi hingga mendatangkan banyak rezeki.

 “Dari kecil saya suka olahraga, apalagi dulu di desa tiap pagi dan sore ada pingpong dan badminton, nah saya mulai tertarik badminton dari sini. Pertama ikut kompetisi badminton waktu kelas 5 SD, mewakili kecamatan di tingkat kabupaten. Naik kelas 6, saya mulai ikut klub usia dini di Boyolali dan mulai dapat juara di sini,” jelasnya.

Menginjak Sekolah Menengah pertama (SMP) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), orang tuanya mengarahkan untuk fokus ke pendidikan. Hal ini membuat Pak Kunta berhenti—masuk—berhenti—masuk klub.

“Dulu, kalau buat masuk ke elit tapi modalnya ga besar juga susah. Saya dulu sering terjun buat tarkam ke mana-mana.  Apalagi saya tinggal di desa, sering nyari ikan, belut, jadi ibaratnya fisik terasah secara tidak sengaja. Buat menguasai keterampilan dan teknik-teknik dasar olahraga itu jadi makin cepet,” terangnya.

Awal Melatih

Dekan Fakultas Keolahragaan (FKOR) UNS tersebut menuturkan bahwa pertama kali Ia melatih pada tahun 1989. Ia ditawari langsung oleh Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd. pembina badminton di UNS.

“Dulu tahun 1989, saya ditawari Prof. Furqon karena saya mainnya bagus, jadi untuk partner sparring. Saya diminta melatih dan membantu atlet-atlet disabilitas yang mau berangkat ke Jepang. Selain di situ, saya juga sempat melatih dan jadi partner sparring di beberapa klub,” jelas Dr. Sapta Kunta.

Beberapa atlet pelatnas juga sempat Ia latih meskipun hanya beberapa bulan. Atlet tersebut antara lain Luku Hadiyanto, Eng Hian, Eny Erlangga, dan banyak atlet lainnya.

“Dulu hanya melatih mereka sebentar, setelah masuk pusdiklat, kami serahkan ke sana,” imbuhnya.

Selepas menyelesaikan studi sarjana, Ia kemudian melanjutkan studi kembali di UNS. Seiring berjalannya waktu, ilmu kepelatihan dan keolahragaan juga semakin terasah dari seorang Dr. Sapta Kunta.

Melatih Atlet Disabilitas

Perjalanan Sapta Kunta melahirkan atlet-atlet berprestasi sudah tidak diragukan lagi. Berkat tangan dinginnya, dalam beberapa edisi ASEAN Para Games, Indonesia berhasil meraih hasil maksimal pada cabang olahraga para badminton. Ia menuturkan terdapat perbedaan ketika melatih atlet disabilitas dan non disabilitas.

“Kalau melatih atlet non disabilitas, kita harus punya keterampilan atau menyajikan yang lebih tinggi dari mereka karena ngejar bola harus cepat, smash harus kencang. Kalau yang disabilitas misal cedera kakinya agak parah kan ngejarnya agak sulit sehingga performa atau pukulan yang dihasilkan tidak terlalu menyulitkan kita sebagai pelatih. Perbedaannya di situ,” jelasnya.

Selain itu, Ia juga menambahkan bahwa teman-teman disabilitas memiliki sensitivitas yang lebih tinggi sehingga pelatih harus dapat menyesuaikan.

Prestasi

Prestasi sebagai manajer dan pelatih tim para badminton Indonesia telah banyak Ia raih melalui anak didiknya. Terlebih, dalam Paralimpiade Tokyo, pasangan ganda putri Indonesia Leani/Khalimatus dapat meraih emas dalam gelaran peseta olahraga disabilitas terbesar di dunia tersebut.

Selain itu, Ia juga terlibat langsung dalam ASEAN Para Games 2015 di Myanmar. Saat itu, Indonesia meraih juara umum cabang olahraga para badminton. Dua tahun berikutnya, dalam ajang yang sama, Indonesia kembali meraih juara umum para badminton ASEAN Para Games di Malaysia.

“Dulu, saya di bagian litbang di NPC. Saya ikut memberikan masukan-masukan bagaimana pengelolaan organisasi olahraga prestasi, seperti rekrutmen pelatih dan sebagainya. Dari situ, kami mulai menerapkan semua SDM harus ada kriteria tertentu sehingga tidak sak-sake. Ini terbukti ketika para badminton mulai unjuk gigi membawa pulang medali dari berbagai macam turnamen internasional,” kata Dr. Sapta Kunta.

Saat mendampingi Leani dan Khalimatus di Tokyo, Ia sangat bersyukur karena anak didiknya dapat menyabet medali emas untuk Indonesia.

“Harapan masyarakat tinggi, apalagi target pemerintah masuk di peringkat 60-an dunia. Ketika kita bisa meraih target itu, tentu tidak lepas atas karunia Allah. Alhamdulillah kita diizinkan meraih 2 emas, di atas target yang dibebankan pemerintah kita bisa naik ke peringkat 41 dunia. Saya bangga bisa ikut andil dalam mengantarkan teman-teman atlet untuk meraih kesuksesan,” tuturnya.

Kunci Seorang Pelatih

Sebagai seorang pelatih, Ia juga harus dapat menyajikan permainan yang melebihi atau di atas para atlet agar mereka dapat oper kompensasi teknik. Hal ini berbeda dengan latihan fisik yang dapat diberikan dengan menambahkan beban latihan fisik.

“Tapi, kalau keterampilan, misal di-smash motong ke sana terus datangnya bola tidak lebih cepat dari permainan sebenarnya ya akan stagnan di situ. Itu yang jarang disadari, bahkan para akademisi yang tidak terjun langsung di lapangan juga tidak menyadari. Biasanya kan banyak yang bilang kalau perlu, dikeroyok 2 pemain, ya ini engga bisa. Mungkin secara teknik oke, tapi dia engga bisa merasakan bahwa itu lawan sebenarnya dan engga akan mempengaruhi mentalnya,” jelasnya.

Dr. Sapta Kunta menambahkan apabila atlet tidak melakukan sparring dengan lawan yang semestinya, tidak ada tekanan mental karena akan merasakan bahwa kalah merupakan hal biasa karena lawannya 2 orang.

“Kalau kita satu lawan satu dan lawan ada di atas kita, pasti teknik, fisik, dan mentalnya akan semakin terasah. Latihan yang baik adalah latihan yang sesuai dengan kondisi saat kompetisi. Misal ada tunggal putri pas latihan kalah sama tunggal putra ya engga ada beban mental karena lawannya putra. Oleh karena itu, salah satu upaya sparring bisa dengan mengirim atlet ke luar negeri, sparringnya nanti di situ (turnamen),” tambahnya. Humas UNS

Reporter: Bayu Aji Prasetya
Redaktur: Dwi Hastuti

Scroll to Top
Skip to content