Harga Kedelai Impor Meroket, Dosen FP UNS Soroti Pengembangan dan Potensi Kedelai Lokal

UNS — Beberapa Minggu terakhir masyarakat Indonesia kembali dihadapkan dengan fakta meroketnya harga kedelai impor yang jumlahnya lebih mendominasi. Hal ini pun berimbas pada kenaikan harga produk-produk berbasis kedelai, seperti tahu dan tempe yang menjadi salah satu bahan makanan favorit masyarakat sehari-hari.

Kali ini, peningkatan tersebut disinyalir karena produksi di beberapa negara produsen kedelai mengalami penurunan utamanya saat pandemi Covid-19. Antara lain Amerika Serikat sebagai salah satu pemasok utama Indonesia. Di sisi lain, biaya transportasi kedelai naik sebab menggunakan kapal laut dengan waktu tempuh lebih lama akibat pembatasan di beberapa negara selama pandemi Covid-19

Bara Yudhistira, S.T.P., M.Sc., Dosen Ilmu Teknologi dan Pangan (ITP) Fakultas Pertanian (FP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta mengatakan, dalam kondisi harga kedelai impor mahal seharusnya kedelai lokal dapat menjadi penyelamat. Sebab, harga kedelai lokal tidak terdampak dari biaya impor yang membengkak.

“Akan tetapi, permasalahan lainnya adalah produksi kedelai lokal masih terbatas, sehingga dimungkinkan harganya ikut naik. Menurut data Kementerian Pertanian, pada 2020 produksi kedelai nasional hanya 300 ribu ton yang mana masih jauh dari kebutuhan nasional,” ungkap Bara kepada uns.ac.id, Jumat (8/1/2021).

Berkaca pada fenomena ini, Bara menekankan perlunya promosi kedelai lokal baik dari sisi produksi maupun konsumsi untuk mencapai swasembada kedelai. Produksi kedelai dalam negeri yang masih rendah, imbuh Bara, perlu ditingkatkan setidaknya melalui dua alternatif.

Pertama, pemerintah menjamin harga kedelai lokal sebagai upaya menarik petani agar bertanam kedelai. Sebelumnya, potensi yang bagus terkait kedelai lokal sudah diakomodasi melalui Permendag Nomor 7 Tahun 2020. Di mana harga acuan pembelian kedelai lokal di tingkat petani sebesar Rp 8.500 per kilogram.

“Dengan harga tersebut harapannya menjadikan kedelai lokal lebih dikembangkan. Tetapi sepertinya hal tersebut belum sepenuhnya dapat mendongkrak produksi kedelai nasional,” jelas Bara.

Oleh karena itu, alternatif kedua ialah perlu adanya edukasi bagi produsen pangan berbasis kedelai dan seluruh masyarakat Indonesia sebagai konsumen terkait potensi kedelai lokal yang memiliki nutrisi lebih baik dan lebih sehat dibandingkan kedelai impor.

Kedelai lokal, tambah Bara, bukan merupakan kedelai Genetic Modified Organism (GMO) atau direkayasa genetik. Salah satu contohnya adalah kedelai unggulan milik Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Selain bukan kedelai GMO, kedelai lokal varietas Grobogan tidak mengandung pengawet dan segar. Kandungan protein K-nya pun mencapai 43,9% dan kandungan lemaknya sebesar 18,4%.

“Bahkan dalam penelitian Nurrahman tahun 2015, dinyatakan bahwa kedelai lokal Grobogan memiliki kandungan protein sebesar 42,32%. Angka ini lebih tinggi dari kedelai impor yang mengandung protein 37,84%,” ujar Bara.

Hal ini berbeda dengan kedelai impor Indonesia yang sebagian besar merupakan kedelai hasil rekayasa genetika atau GMO dengan menyisipkan gen phosphinothricin acetyltransferase (PAT) hasil modifikasi dari bakteri tanah. Yakni bakteri Streptomyces viridochromogenes.

Dengan demikian, kedelai GMO memang lebih tahan terhadap penyakit dan hama, lebih tahan terhadap herbisida, memiliki umur simpan yang lebih lama, memiliki kandungan asam oleat yang tinggi, dan memiliki ukuran biji yang lebih besar. Namun, tentu tidak sesegar dan sesehat kedelai lokal.

“Sehinga sebenarnya jika kita menengok lebih dalam kedelai lokal memiliki banyak kelebihan, namun kenapa kita masih belum dapat memaksimalkan potensi lokal tersebut?” tutup Bara. Humas UNS

Reporter: Kaffa Hidayati
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content