Himakom UNS Ulas Dunia Science Journalism di Indonesia

UNS – Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Himakom) bersama Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) VISI Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menggelar webinar bertajuk “Mengenal Science Journalism”, Sabtu (13/6/2020) . Webinar ini bertujuan untuk mengulas secara mendalam dunia jurnalisme sains yang masih asing didengar oleh masyarakat Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut, Himakom FISIP UNS secara khusus mengundang salah seorang jurnalis sains, Dewi Safitri, sebagai pembicara utama. Dewi Safitri yang saat ini aktif bekerja sebagai jurnalis CNN Indonesia telah berkecimpung di dunia jurnalisme sains sejak 10 tahun yang lalu.

Membuka pemaparan materinya, Dewi Safitri terlebih dahulu mengenalkan jurnalisme sains kepada 95 peserta yang mengikuti jalannya webinar melalui Google Meet. Berdasarkan pengalamannya sebagai jurnalis, Dewi Safitri memaklumi apabila dunia jurnalisme sains di Indonesia masih belum dikenal banyak orang.

“Hampir separuh sekitar 48% belum pernah mendengar istilahnya atau tidak tahu jurnalisme sains itu seperti apa. Tidak hanya di Indonesia tapi di berbagai negara di dunia juga sama. Jurnalisme sains baru berkembang 40-50 tahun terakhir sebagai genre dalam bidang jurnalistik dan belum matang,” ujar Dewi Safitri.

Sebelum lebih jauh mengenal jurnalisme sains, Dewi Safitri mengatakan bila orang perlu memahami terlebih dahulu apa arti sains yang sebenarnya. Berkaitan dengan hal tersebut, poin penting yang disampaikan Dewi Safitri adalah pemahaman terhadap posisi sains yang menolak subjektivitas. Baginya, sains tidak memandang preferensi pribadi, perbedaan suku, ras, dan agama.

Poin lain yang disampaikan Dewi adalah mengenai posisi jurnalis sains bagi masyarakat. Dewi Safitri menerangkan jika posisi dari seorang jurnalis sains adalah untuk memberikan ilmu pengetahuan kembali kepada masarakat dan membantu masyarakat dalam memperoleh keuntungan dari sains.

“Sains berurusan dengan segala sesuai untuk menciptakan deskripsi yang jujur tentang semesta. Jurnalis sains perlu mengembangkan seni meragukan untuk memastikan khalayak tidak menjadi korban sains yang buruk, palsu, atau menipu,” lanjut Dewi Safitri.

Dewi Safitri yang sudah bekerja sebagai jurnalis selama 21 tahun mengatakan jika musuh terbesar dalam jurnalisme sains adalah berita hoax dan pseudo science. Ia mencontohkan ketika beberapa kalangan masyarakat melakukan aksi penolakan terhadap pekan vaksinasi nasional akibat termakan berita hoax mengenai kandungan vaksin yang diisukan tidak halal.

Berkaca pada hal tersebut, posisi seorang jurnalis sains menjadi penting karena ia harus meluruskan berita hoax yang beredar di masyarakat melalui berita yang mencerdaskan. Selain itu, dalam pemberitaan seorang jurnalis juga harus mencakup area yang seluas mungkin. Maksudnya adalah melalui berita yang ia tulis, seorang jurnalis sains perlu menerangkan secara jelas dampak atau manfaat lain yang bisa didapatkan dari sains. Humas UNS/Yefta/Dwi

Skip to content