Himasos FISIP UNS Kupas Tuntas Kekerasan Anak di Masa Pandemi

UNS — Himpunan Mahasiswa Sosiologi (Himasos) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menggelar webinar nasional kuliah pakar yang mengusung tema “Meningkatnya Kekerasan Anak di Masa Pandemi : Ayah, Bunda, Mengapa Aku Tidak Disayang?” pada Sabtu (21/11/2020). Acara dilaksanakan secara daring melalui aplikasi Zoom Cloud Meeting.

Pada kesempatan ini, Himasos FISIP UNS menghadirkan 3 pembicara utama yakni Dra. Rahesli Humsona, M.Si., Isti Ilma Patriani, S.Psi., M.Psi., Psikolog, dan Patrick Putra Dermawan. Audiens yang hadir sebanyak 271 peserta. Materi pertama disampaikan oleh Isti Ilma Patriani, S.Psi., M.Psi., Psikolog, Kasie Perlindungan Anak Dinas Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Tengah. Isti menyinggung sistem daring yang menjadi alternatif pembelajaran ketika masa pandemi berpotensi menimbulkan konflik antara orangtua dan anak.
“Di dunia pendidikan, sistem daring menjadi pilihan untuk proses pembelajaran. Namun, tidak semua orangtua memiliki kapasitas untuk mendidik layaknya guru di sekolah. Hal ini dapat menjadi potensi orangtua untuk melimpahkan kekesalan pada anak,” terang Isti.

Menurut Isti, peran orangtua sangat penting bagi pengasuhan anak, terutama yang menyangkut edukasi dan pengaruh positif. Ketika seorang anak berada dalam masa golden age, mereka akan secara aktif menyerap hal positif dan negatif. Apabila terdapat kekerasan fisik, sikap merendahkan anak, suka menstigmatisasi dan labelling, serta pemberian ucapan negatif pada anak, hal tersebut akan memberikan pengaruh terhadap perilaku mereka. Isti menyarankan alangkah lebih baiknya, orangtua dapat mendengarkan dan memahami anak, memberikan kasih sayang dan ucapan positif, juga melatih komunikasi yang baik.

Pemaparan dilanjutkan oleh Dra. Rahesli Humsona, M.Si. yang merupakan seorang Dosen Program Studi (Prodi) Sosiologi FISIP UNS. Menurut, Dra. Rahesli, pada masa pandemi, anak menghadapi kondisi ancaman yang beragam.
“Di masa pandemi, anak menghadapi berbagai kondisi ancaman. Pertama, anak takut terkait kondisi pandemi itu sendiri. Kedua, anak ditekan oleh orangtua apabila anak tidak patuh. Ketiga, anak mendapatkan tekanan dari lembaga pendidikan. WFH (Work Form Home) dan SFH (Study From Home) membuat keluarga menjalani hari-hari yang panjang di rumah secara bersama-sama,” jelas Dra. Rahesli.

Dra. Rahesli menambahkan, bahwa ketidakpastian kondisi dalam pandemi, menyebabkan rasa cemas, khawatir, jenuh, bosan, penat bahkan depresi bagi anak. Sasaran berbagai situasi ini akhirnya berimbas pada kelompok yang paling lemah dalam keluarga, yaitu anak yang lebih rentan mengalami kekerasan. Bagi psikologi anak, kekerasan dapat menyebabkan adanya kepercayaan diri yang rendah. Dampak sosiologisnya, anak akan sulit mempercayai orang lain. Sedangkan, bagi fisiologis anak, akan menyebabkan luka, cacat fisik, bahkan kematian. Untuk mengatasi hal itu, perlu adanya penguatan kapasitas, peran, dan fungsi keluarga, serta memperkuat kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat, juga menggencarkan kampanye anti kekerasan anak.

Terakhir, materi disampaikan oleh Patrick Putra Dermawan, seorang mahasiswa Prodi Sosiologi UNS angkatan 2018. Patrick menyampaikan bahwa terdapat beberapa penyebab kekerasan pada anak.
“Berdasarkan data Simfoni PPA periode 1 Januari hingga 21 Agustus 2020, terkait kekerasan pada anak terdapat 4.859 kasus kekerasan. Penyebabnya antara lain keterbatasan ekonomi, rendahnya pendidikan orangtua, penggunaan gadget, komunikasi yang buruk antara orangtua dan anak, serta rasa jenuh dan penat yang memicu amarah,” jelas Patrick

Patrick menambahkan, terdapat banyak cara pencegahan yang dapat dilakukan seperti melakukan sosialisasi mengenai peran keluarga bagi anak, penyediaan layanan konsultasi anak dan orangtua dan pengawasan dari pihak Rukun Tangga (RT) sebagai tetangga terdekat dengan keluarga yang bersangkutan. Humas UNS

Reporter: Zalfaa Azalia Pursita
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content