ICALC 2018 Bahas Peradaban Manusia Era Digital

UNS -Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menggelar The 3rd International Conference of Arts, Language, and Culture (ICALC) bertajuk “The Improvement of Socio Cultural Community Life Through Contextual Art Education” di UNS Inn, Sabtu (29/9/2018). Konferensi internasional yang diadakan oleh Program Studi Magister Pendidikan Seni dan Magister Kajian Budaya UNS ini membahas bagaimana memahami perubahan cara hidup masyarakat di era digital.

Gaya hidup manusia selalu berubah dari masa ke masa. Perubahan tersebut dapat dipelajari melalui karya seni. Sebab, seni tidak hanya menampilkan unsur keindahan dari juga merepresentasikan pandangan seniman terhadap dunia di sekitar. Melalui karya mereka, masyarakat bisa mengetahui dan memahami apa yang sedang terjadi di lingkungan sosialnya.

Hal tersebut sejalan dengan pernyataan pembicara asal Malaysia, Dr. Rosli Zakaria, M.A. Dalam paparannya, Dosen Universiti Teknologi Mara/UITM Malaysia itu membahas mengenai patung publik yang tumbuh secara paralel dengan pertumbuhan bangunan kota. Patung-patung umum di jantung Kuala Lumpur, selain menjadi ikon kota, juga bisa dipahami sebagai cara berpikir warga di sana.

“Patung abstrak, misalnya, menunjukkan bagaimana agama Islam melarang kerajinan yang menyerupai makhluk hidup,” kata Rosli.

Kemampuan memahami kondisi sosial budaya ini menjadi sangat penting untuk menghadapi era disrupsi digital. Era ini akan mematikan siapa saja yang enggan atau tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan.

Sama hal dengan karya seni, bahasa juga mencerminkan peradaban manusia. Misalnya, di era globalisasi seperti sekarang ini, banyak anak muda yang menggunakan bahasa campuran Indonesia-Inggris. Padahal, menurut Leon Gilberto Medelin Lopez dari Meksiko, bahasa Indonesia berpotensi menjadi bahasa internasional. Hal itu merujuk pada banyaknya mahasiswa asing di Indonesia serta orang Indonesia di luar negeri.

“Kelemahan pemerintah Indonesia tidak mewajibkan mahasiswa asing berbahasa asing atau Indonesia. Ini yang harus ditegaskan. Mahasiswa bisa seenaknya sendiri menggunakan bahasa tidak baku dalam Indonesia,” kata Leon.

Selain Dr. Rosli dan Leon, konferensi ini juga menghadirkan Prof. Tjetjet Rohendi Rohidi (Guru Besar Unnes), Prof. Narsen Afatara (Guru Besar UNS) dan Dr. Titis Srimuda Pitana (UNS) sebagai pembicara.

Adapun peserta seminar berasal dari perguruan tinggi yang tersebar di Tanah Air. Mereka mengirim tulisan yang sangat beragam yang berkaitan dengan seni, pendidikan seni, bahasa, hingga kajian budaya. Tulisan yang telah terseleksi akan dipublikasikan di Atlantic Press yang terindeks CPCI Clarivate Analytics (sebelumnya dikenal sebaai Thomson Reuters). Hasil prosiding bisa diakses di jurnal uns.ac.id.

“Ada 73 presenter dan 18 nonpresenter yang hadir dalam seminar tahun ini. Secara jumlah dan kualitas meningkat karena yang mengikuti acara pada tahun ini lebih banyak dan semuanya minimal mahasiswa pascasarjana,” jelas Ketua Panitia, Dr. Edy Tri Sulistyo. Humas UNS

Skip to content